Tidak sadar, atau tidak semua orang menyadari. Setiap tindakan, pada dasarnya memiliki alasan. Alasan yang paling kuat, yang menjadikan seseorang mengambil tindakan tersebut. Jelaslah, bahwa dalam pemahaman ini, tidak ada tindakan manusia yang tidak memiliki alasan. Pasti, atau pastinya, ada alasannya.
Persoalannya, adalah, apakah alasan itu hadir dalam bentuk penalaran, perasaan atau ucapan yang dikemukakan secara terbuka ? atau, bila tidak diungkapkan, alasan itu muncul dibalik seluruh hal yang disebutkan tadi, tetapi hadir dalam alam bawah sadarnya. Untuk menjelaskan hal ini, maka mau tidak mau, kita harus pinjam pola pikir atau pandangan yang dikembangkan Sigmund Freud mengenai psikoanalisis.
Sore ini. Sebelum pulang dapat informasi, bahwa pimpinan di sebuah lembaga melakukan penataan ulang terkait tata-kelola penggunaan ruang di gedung tersebut. Kenampakkan yang nyata, sewaktu bermaksud pulang kerja, tampak bahwa ruang bendahara organisasi itu, pindah dari ruang dalam ke ruang terbuka. Sementara ruang dokumen, yang semula ada di bagian depan, atu di ruang terbuka itu, kemudian di pindakan ke ruang dalam, menjadi ruang yang tertutup.
Bagi sebagian orang, kebijakan itu mungkin tidak istimewa. Tidak menarik. Atau, tidak memberikan sesuatu yang layak dibicarakan. Pemindahan dan rotasi ruang kerja, adalah sesuatu hal yang biasa, yang bisa disebut sebagai hal normal, wajar, dan alamiah, bergantung pada hasrat atau keinginan dari pimpinan yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Kebijakan itu, rasa-rasanya, tidak perlu dikomentari, dan hanya menghabiskan waktu dan tenaga saja.
Biarkan saja berlalu. Karena perubahan itu, adalah hal biasa, dan normal di lakukan oleh siapapun dan kapanpun juga !
Tetapi, bila kemudian ada orang, atau pihak tertentu, yang mencoba untuk mengajukan pertanyaan, apa alasan dan apa maksud dari perubahan itu, dan mengapa pola perubahannya seperti itu ? bagaimana kita menjelaskan pertanyaan-pertanyaan serupa itu ?
Terkait hal ini, maka, harapan untuk mendapatkan jawaban secara lisan dari pihak terkait, mungkin jadi tidak memuaskan. Tetapi kendati tidak memuaskan, argumentasi dan atau jawaban mereka itu, hendaknya dapat dijadikan petunjuk untuk menggali alam bawah sadar mereka yang menyebabkan keluarnya kebijakan tersebut. Pada konteks inilah, yang disebut psikoanalisis.
Adalah menarik, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, jika melihat ada seseorang yang diduga menunjukkan indikasi melakukan geopatologis dalam kehidupan hariannya. Maksudnya itu, seseorang potensial melakukan tindakan-keliru bersikap dan bertindak, terkait dengan ruang yang ditinggalinya. Geopatologis, yang kita maksudkan di sini yaitu penyakit mental yang disebabkan karena adanya persepsi dan reaksi yang tidak tepat terhadap ruang.
Seseorang yang menata ruang, dari ruang dibagian dalam ke bagian luar, bagaimana kita dapat menggali alam bawah sadar yang muncul dalam diri orang tersebut ?
Sebelum menjawab masalah itu. Kita lihat kasus lain yang perlu dicermati dengan seksama. Menurut informasi dan pengamatan sepintas, ruang pimpinan itu bisa ditebak dengan mudah. Kalau ruangannya tertutup rapat, menunjukkan orangnya ada di dalam. Sedangkan, bila pintu ruangannya terbuka, menunjukkan pimpinan itu, sedang ke luar atau tidak ada. Bagi sebagian orang, mungkin, hal ini agak sulit dipahami. Karena pada umumnya, lebih banyak yang terjadi itu sebaliknya. Jika pintu tertutup berarti tidak ada, dan bila terbuka menunjukkan orangnya ada. Ini malah terbalik.
Bagaimana hal inii bisa dipahami ?
Dengan membuat analogi antara dua kasus tersebut, satu diantara pertanyaan kritis, adalah mungkinkah ada kelemahan pola komunikasi dan koordinasi yang dimiliki pimpinan ? Lemahnya pola komunikasi ini, ditunjukkan dengan memisahkan dirinya dengan pejabat yang semula masuk 'lingkaran dalam' menjadi 'lingkaran luar', atau seperti yang ditunjukkan ruang kantornya. Pintunya nutup berarti, orangnya ada, sedangkan kalau orangnya tidak ada ditunjukkan dengan pintu terbuka.
Memisahkan ruang, secara psikologis menunjukkan menjauhkan jarak komunikasi dan interaksi. Hal ini, bisa pula menunjukkan adanya perenggangan jasak psikologis. Oleh karena itu, pemindahan ruang-kerja, memberi kesan adanya penjauhan pola komunikasi, antara satu pihak dengan pihak lain. Di sinilah, kita melihta, geopatologis seorang pemimpin, dalam konteks organisasi. Atau bila demikian adanya, akankah ada motif lain, yang belum diungkap?
Bagaimana jika kemudian dikaitkan, bahwa pada dasarnya, dijauhkan itu dengan maksud supaya dekat, karena selama ini, saat ruangannya dekat sulit diajak ngobrol. Logika ini terbalik, tetapi tidak jauh beda, atau mirip logika terbaliknya bahasa-isyarat dari pintu ruang kantornya. Artinya, jika kemudian, dijauhkan, dan bila dipanggil, akan muncul "perasaan daripada bulak-balik, ya udah, mendingan iyakan saja..".
Bagaimana menurut pembaca ?
0 comments:
Posting Komentar