Tulisan ini, tidak diimbuhi data. Sekali lagi, tulisan ini lebih merupakan refleksi atau analisis saja. Data-data empirik tidak disertakan saat menuliskan narasi ini. Namun, pertanggungjawaban nalar, atau rasional, bisa dipertaruhkan. Atau setidaknya, kita berhadap beradu-nalar dalam memberikan sebuah penjelasan terkait dengan perilaku politik masyarakat Indonesia.
Pengalaman Pemilihan Umum (Pemilu), Pilpres dan Pilleg 2024 ini, menyisakan pertanyaan dan misteri yang sangat luar biasa. Setidaknya, bila laporan dari LSI benar, bahwa penerima bansos cenderung memiliki Pabrowo Gibran, maka muncul pertanyaan kritis, mengapa dan bagaimana perilaku atau sikap politik rakyat Indonesia saat ini ?
Pertanyaan ini, patut untuk dibincangkan. Setidaknya, merujuk pada soalan besar bangsa kita ini. Apakah benar, bahwa sikap politik dan partisipasi politik rakyat Indonesia ini, masih rendah, sehingga begitu mudah beralih pilihan, atau meneguhkan pilihan sekedar karena bansos ?
Sekali lagi. Tanggapan ini tidak berpretensi bahwa orang yang menerima bansos, adalah orang yang beralih-pilihan dari paslon lain ke paslon ini. Karena, peristiwa yang terjadi bisa jadi adalah dengan adanya bansos itu, mereka justru mendapat peneguhan, yang semula sudah mau memilih itu, kemudian mendapat bansos dari kelompok itu, sehingga yakin dan kukuh memilih paslon tersebut. Oleh karena itu, kalimat "penerima bansos, cenderung memilih paslon Pabrowo-Gibran", tidak serta merta menggambarkan adanya peralihan pilihan dari paslon ke paslon ini.
Soalan yang hendak dibicarakan ini, adalah "apakah pilihan politik, benar-benar di pengaruhi oleh bansos?" Biila demikian adanya, apakah material sebesar itu, benar-benar memberikan dampak nyata terhadap perubahan sikap politik ? bila demikian adanya, adalah tepat bila dikatakan bahwa kematangan politik masyarakat kita, masih bisa diperdebatkan.
Dugaan (bahasa ilmiahnya, hipotesis) terkait masalah itu, adalah (1) karena rendahnya kesadaran politik, masyarakat masih sangat mudah dimobilisasi, (2) adanya perbedaan perilaku politik pada masyarakat desa dan masyarakat kota, (3) terbatasnya interaksi masyarakat dengan dinamika luar, menyebabkan rendahnya kesadaran politik, (4) apolitisnya masyarakat, sehingga tidak memedulikan siapapun yang dipilih, dan (5) imbuhan dari masalah keempat itu, adalah adanya sikap pragmatis. Siapapun, boleh, silahkan, yang penting dia merasakan apa yang ada saat itu.
Hipotesis itu, masih tetap perlu diuji. Setidaknya, perlu ada pembenaran dari data-data empirik di masyarakat, sehingga, elit politik di esok hari, dapat memanfaatkannya, atau dapat melakukan perbaikan kualitas kematangan demokrasinya.
Hal menarik lanjutannya, khususnya kalangan geograf, memiliki kewajiban moral untuk melakukan kajian dengan menerapkan model pemetaan perilaku politik masyarakat. Mapping perilaku politik ini, penting, setidaknya untuk dijadikan basis atau dasar pembinaan politik pada masa yang akan datang.
Selama ini, kita hanya memanfaatkan opini atau persepsi, ada daerah merah, daerah hijau, daerah putih, daerah abu-abu, atau daerah lainnya. Tetapi, pemetaan wilayah di Indonesia berbasis indeks kematangan demokrasi ini, belum banyak dilakukan, dan belum banyak dikembangkan. Padahal, dengan memiliki pemetaan perilaku politik ini, seorang pejabat negara atau elit politik, dapat melakukan treatment politik sesuai dengan kondisi dan realitas perkembangan politik pada daerah tersebut.
Selama penghitungan suara, kerap kali ada informasi "di TPS capres ini, kalah telak", atau "capres ini menang telak di kandang itu..". Ucapan yang sejatinya, dimaksudkan untuk melakukan pemetaan. Pemetaan tersebut, jelas lebih merupakan sebuah opini atau persepsi politik dari si penuntutnya. Sama dengan apa yang kita lakukan hari ini, di platform ini. padahal, sejatinya, kita harus sudah punya peta perilaku politik masyarakat Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar