Fenomena masyarakat paska pemilihan, menarik untuk ditelaah. Setidaknya, ulasan ini mengacu pada gejala sosial yang ada di satu komplek, perkotaan. Keunikan kemenarikannya itu, setidaknya, karena ternyata dalam satu ruangan saja, sebut saja, ruang kerja, rumah, atau satu blok perumahan di perkotaan, mampu menunjukkan gejala sikap politik yang berbeda-beda. Inilah unik dan menariknya.
Selaras dengan apa yang terjadi, hari ini, paska pencoblosan di pilleg dan pilpres, ditemukan ada empat kategori masyarakat kita. Empat kelompok ini, tampak jelas dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden. Sementara untuk pemilihan anggota legislatif atau dewan perwakilan daerah (DPD) tidak kentara, walaupun mungkin satu diantara sekiannya ada yang selaras dengan psikologi politik pemilih saat itu.
Pertama, ada kelompok pendukung pemenang kontestan. Kelompok ini, sudah tentu, adalah kelompok yang paling bahagia, walaupun belum tentu diuntungkan. Kita perlu membedakan, antara bahagia dengan diuntungkan. Konsep bahagia di sini, merujuk pada situasi psikologis saat ini, sedangkan diuntungkan untuk konteks keuntungan lanjutan paska pemilihan.
Para pendukung bisa saja merasa bahagia. Tetapi kelompok yang diuntungkannya, adalah kelompok pendukung pada level-tertentu. Kelompok yang diuntungkan itu, misalnya pendukung di timses inti dan atau pimpinan partai politik. Atau kelompok pendukung, yang memberikan kontribusi finansial selama kampanye politik. Jumlah kelompok bahagia jauh lebih banyak daripada jumlah yang diuntungkan.
Kedua, kelompok pendukung kontestan yang kalah. Kelompok ini, adalah kelompok yang merasa sedih, atau merasa tidak akan mendapatkan keuntungan. Sebagai kelompok yang kalah, paling berharap melihat dan membuka ruang menjadi oposisi dalam dinamika politik, atau mendapat 'kasihsayang' pemenang untuk bergabung dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sekali lagi, tetapi bagi kelompok yang sedih, adalah kelompok pendukung di level akar rumput (grassroot). Sebagai pendukung yang kalah, merasa kecewa dan sedih. Seluruh pengorbanannya, menjadi kurang bermakna panjang. Namun demikian, dalam batasan tertentu, ada sikap politik yang baik pada kelompok ini. Keyakinan politiknya itu, "kendatipun kalah, tetapi sudah memberikan pilihan yang benar..". Inilah keyakinan politik mereka, sehingga tidak terlalu kecewa secara mendalam.
Kelompok ketiga, adalah kelompok apatis. Tidak jauh dari rumah, di kompleks ini hadirlah kelompok yang apatis. Mereka merasa bahwa kandidat yang manapun, masih tetap memiliki kualitas standar. Jika disebut ada baiknya, semuanya ada baiknya. Andai ada kekeliruannya, semuanya memiliki sisi buruknya. Setidaknya, begitulah pemahaman yang mereka miliki, sesuai dengan informasi yang didapatnya.
Luar biasanya, untuk kelompok apatis ini, dapat dipilah dalam beberapa kategori lagi, yaitu (1) apatis-reaktif, dan (2) apatis-aktif. Kelompok ini, ada yang disebut apatis-reaktif, yakni mengambil tindakan untuk menghindar dari pesta politik. Dari kesadaran politiknya itulah, kemudian mereka mengambil jalan golput. Sikap ini, dilakukan dengan cara sadar akan kondisi politik, tetapi kemudian tidak memberikan suaranya ke bilik suara.
Kategori lainnya, yaitu apatis-aktif. Pada kelompok ini, masih lumayan. Kendati apatis, namun masih ada yang mau memberikan suaranya di bilik suara. Walaupun, kita pun agak sedikit pesimis. Karena untuk sebuah masyarakat yang ada di kompleks perkotaan, masih ada cara pencoblosan yang tidak tepat. Semua kandidat dicoblos, sehingga kemudian menyebabkan tidak sahnya surat suara.
Ah, mungkin, itulah perbuatan dari kelompok yang satu ini ! mungkin, saja. Sekedar dugaan.
Kelompok keempat, adalah oportunis. Kelompok ini perlu dibedakan dari kelompok ketiga tadi. Pada kelompok keempat ini, sikap politiknya jelas, sangat subjektif. "ah, yang mana saja, juga sama.." ungkapnya, "nanti, kalau sudah jadi pejabatnya, kalau ada baiknya, pasti kita merasakan, kalau ada buruknya, ya kita, juga pasti merasakannya..", ungkapnya.
Kelompok terakhir ini, bisa jadi, adalah kelompok yang paling mudah dimobilisasi atau dimanipulasi. "pada gak kenal, ya gimana atuh,.." ungkapnya polos, "ya, aku mah, terserah siapa saja, juga sama lah....". Sikap dan pemikiran seperti inilah, yang kemudian memudahkan beberapa pihak memanfaatkannya sebagai sumber pendulangan suara, dengan cara dimobilisasi atau dimanipulasi.
Perbedaan dari kelompok ketiga, pada kelompok ini, masih ada keyakinan, "setiap orang yang dipilih, pasti deh, ada niat baik dan kebaikannya, nanti kita juga akan merasakannya..". Sementara pada kelompok ketiga, lebih menganut keyakinan, 'siapapun presidennya, tetap saja, nasib kita, bergantung pada diri kita sendiri. Tidak lebih dari itu..!".
Bila, pasangan pilpres itu melihat realitas sosial seperti itu, akankah mereka diperlakukan berbeda ?
Semoga saja, perlakukan secara berbeda, namun dengan tujuan yang sama, yakni layani mereka sesuai kebutuhannya secara optimal untuk menjaga martabat dan kelangsungan bangsa dan negara Indonesia !
0 comments:
Posting Komentar