Pertanyaan ini, sangat serius, benarkah Geografi itu diposisikan sebagai disiplin ilmu yang tidak memiliki paradigma keilmuan tersendiri ? tidak mudah untuk menjawab ini. Di sebut tidak, bukan berarti karena tidak ada jawaban, tetapi pertanyaan ini memancing banyak pihak untuk bertanya kembali apa yang dimaksud dengan paradigma, dan apa yang dimaksud dengan Geografi.
Sekali lagi. Pertanyaan itu, sangat serius, dan perlu untuk ditanggapi, baik oleh kalangan Geograf, tenaga Pendidik Geografi maupum mereka yang tengah belajar Geografi. Keberhasilan kita dalam memberikan tanggapan terhadap masalah ini, dapat dipastikan, akan mampu meningkatkan kepercayaan diri seseorang, untuk menganut keyakinan ilmiahnya terhadap Geografi sebagai sebuah disiplin ilmu. Sementara, jika gagal dalam memberikan tanggapan terhadap masalah ini maka sudah dipastikan pula, orang tersebut akan mengalami kegamangan untuk meyakini Geografi sebagai sebuah disiplin ilmu.
Sebagai orang yang sudah 15 tahun mengajar Geografi, sudah tentu, akan kaget dan dikagetkan dengan pertanyaan ini. Jelaskan, kalau Geografi benar-benar menjadi sebuah disiplin ilmu tanpa paradigma, menunjukkan bahwa seluruh hal baik yang terkait dengan pikiran, perkataan dan tindakan kegeografiannya selama ini, hancur sudah. Ijazah pendidikan Geografi, menjadi tidak ada artinya. Hal itu terjadi, karena ternyata, keilmuan yang didapatkannya pun, bukanlah sebuah disiplin ilmu berparadigma.
Dari mana asal-usul pertanyaan ini ? atau mengapa, pertanyaan ini muncul ?
Satu diantara sekian soalan yang ada di sekitaran Geografi itu, adalah terkait dengan identitas kegeografian. Betul, saat disiplin ilmu dipecah jadi dua, 3, 4 atau lima , maka kemudian orang bertanya, dimana posisi Geografi ?
Sebut saja, bila orang berbicara mengenai dualisme keilmuan, eksak atau sosial (IPA atau IPS), di mana posisi Geografi ? belum ada bisa menjawab dengan tegas. Maka orang bisa menuduhnya, tidak ada paradigma yang tegas mengenai posisi keilmuan Geografi. Hal itu terjadi, karena Geografi ada IPA-nya, dan juga ada karakter IPS-nya.
Lantas, bagaimana kalau orang mengelompokkanya pada kelompok humaniora ? jelas sudah, untuk hal yang ketiga ini pun, sangat sulit ditempatkannya. Memang, dulunya Geografi adalah logografi atau cerita perjalanan dari seorang petualang, tetapi tidak serupa dengan novel, roman, atau sejarah. Maka karena itu, sulit diposisikan sebagai kelompok humaniora.
Kesempatan berikutnya, mungkin ada yang berusaha untuk memasukkannya pada rumpun teknik. Setidaknya karena Geografi kerap bicara mengenai pemetaan, SIG, penginderaan jauh, atau survey dan sejenis itu semua. Kita setuju dengan penjelasan ini, namun Geografi bukan hanya itu saja, Ada aspek lain, yang tidak berkarakter teknik, namun tetap menjadi bagian penting dari Geografi.
Bila demikian adanya, ada satu kelompok keilmuan lagi, yang biasa disebutkan orang, yaitu kelompok agama (religion studies). Wah, untuk hal yang satu ini pun, tidak tepat. walaupun, Geograf kadang menjelaskan mengenai ragam agama yang tumbuhkembang di dunia, namun Geografi bukanlah cabang atau jenis dari ilmu teologi.
Bila demikian adanya, akankah Geografi menjadi sebuah ilmu dengan disiplin multi-paradigma (paradigma ganda) ? Istilah ini, perlu dipertajam dengan baik. Sehingga, dapat dipahami dengan tegas, posisi Geografi itu sendiri. Namun untuk kepentingan kali ini, andai saja, sambal adalah sebuah makanan enak, maka Geografi itu adalah sambalnya, bukan cabai, bukan garam, bukan gula, bukan cobeknya. Tetapi sintesis dari itu semua, itulah Geografinya.
Itulah paradigma keilmuannya. Bukan yang lain.
0 comments:
Posting Komentar