Kelas, dalam skala mikro geografi adalah satu ruang. Boleh dikategorikan sebagai ruang kelas, atau lebih luas lagi yaitu ruang-akademik pada unit satuan pendidikan (persekolahan). Dengan memberikan pengertian seperti ini, dan juga seharusnya memang begitu, maka mau tidak mau, siapapun yang menjadi bagian dari edusistem (istilah lain dari ekosistem) satker tersebut, berada dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Unik memang. Ini adalah keunikannya. Sangat kontras terlihat dengan lingkungan yang lainnya. Seseorang yang berangkat pergi ke pabrik, niat kerja, dan melakukan aktivitas pekerjaan. Serius, dan hampir dipastikan tidak ada ruang-untuk aktivitas lain. Tetapi, hal ini, akan sangat berbeda dengan ruang-pendidikan. Sangat berbeda.
Perbedaan nyata yang sangat dirasakan, yaitu adanya perbedaan ruh, semangat atau spirit yang ada dalam jiwa seorang tenaga pendidik. Kita semua paham, dan dapat dengan membuat garis-merah secara besar terkait dengan maksud dan tujuan diselenggarakannya layanan pendidikan. Hal mendasarnya itu, adalah memberikan layanan pendidikan. Ini adalah garis besar pembeda, antara satuan pendidikan dengan satuan-kerja perekonomian. Tetapi, apa lacur adanya. Ternyata, seseorang yang berangkat ke sekolah itu, bukan untuk melakukan layanan pendidikan, tetapi untuk bekerja.
Nah, lho ?
Apa masalahnya ? bukankah, hal itu, adalah sama saja. Apa bedanya, motif bekerja dengan motif mendidik ? bukankah, alamiah, bila seseorang berangkat dari rumah ke sekolah dengan maksud untuk bekerja, dengan jenis pekerjaannya adalah melayani peserta didik belajar ? bukankah, hal itu adalah jawaban normal dan menjadi realitas yang umum di manapun orang akan berada ? bukankah hal itu, adalah hal masuk akal, saat pekerjaan guru adalah sebuah profesi, dan yang namanya profesi adalah sebuah pekerjaan ? sehingga, secara sederhananya, bila ada orang yang berangka ke sekolah, tujuannya yaitu untuk bekerja.
Eh, benar juga. Jadi, apa salahnya, kalau seseorang mengatakan, mau pergi ke sekolah dengan maksud dan tujuan untuk bekerja, dan tidak mengatakan untuk mendidik ?
Di sinilah, tempat dan waktunya untuk melakukan refleksi. Sebagaimana sudah disampaikan di bagian awal, bahwa sekolah adalah edusistem, yang memiliki karakte beda dengan ekosistem perusahaan, pabrikan, atau kantoran. Ketika seseorang menyebut dirinya akan bekerja dan berangkatnya ke pabrikan, perusahaan atau kantoran, maka rutinismenya mereka adalah mengerjakan, sesuatu dengan tujuan mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan, kalau mendidik, tugas guru itu bukan hanya mewujudkan tujuan-sekolah sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga membimbing peserta didiknya mengembangkan kemampuannya mewujudkan cita-citanya.
Tidak ada pabrikan yang berusaha mewujudkan cita-cita barang-pabrikannya, pabrikan pastii mewujudkan visi pabrik itu sendiri, bukan misi per-item produk pabrikan (mobilnya, motornya, sendiknya, kursinya, atau tepung tapiokanya). Pastinya, tujuannya adalah mewujudkan misi lembaga produksinya saja. Hal ini, berbeda dengan tujuan dari layanan pendidikan.
Nah, di situlah, perbedaannya. Jadi, posisi guru itu, bekerja untuk lembaga pendidikan, ettapo melakukan pelayanan edukasi kepada peserta didiknya. Inilah ruh lembaga pendidikan. Jika kita gagal memahami hal ini, bisa jadi, potensial akan mengalami kegamangan dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik.
Wajar bila kemudian, Driyarkara (1956) menyindir kita semua, kalau menjadi gurunya terjadi secara kebetulan, maka jadinya tidak betul-betul.
hihihihi...
0 comments:
Posting Komentar