Tidak banyak yang menyadari, bahwa untuk membangun budaya organisasi itu, dibutuhkan kineja yang optimal atau prima. Dari semua pihak. Tanpa kecuali. Karena, bisa jadi, kendati satu orang saja, dari anggota atau karyawan itu, yang mengalami gangguan jabatan, maka akan menjadi problem serius bagi organisasi.
Paska reformasi ini, kritika dan analisis tajam dari ragam pihak, muncul dan berseliweran. Khususnya dalam konteks penataan organisasi, dan layanan publik di lembaga publik.
Mengapa hal demikian, menjadi perhatian banyak pihak ? Satu diantara jawaban, yang menjadi perhatian banyak orang itu, yakni munculnya ODGJ. Menurut pencetusnya, istilah ODGJ ini bukan orang dengan gangguan jiwa, melainkan orang dengan gangguan jabatan. Kendati demikian, publik bisa memahaminya, bahwa orang yang mengalami sikap hidup, dengan gangguan jabatan, pun, adalah bentuk dari gangguan jiwa.
Banyak sudah, contoh dalam kehidupan harian kita. Ada orang yang menunjukkan perubahan perilaku, karena mendapatkan jabatan baru. Atau, ada orang yang mengalami perubahan perilaku karena ada iming-iming dengan jabatan baru. Atau, ada orang yang mengubah perilaku, karena ada tawaran menukan sesuatu hal dengan jabatan baru. Bila ditelaah dengan seksama, kelakuan-kelakuan yang tadi disebutkan itu, sejatinya, tiada lain, ada kesamaannya. Yakni, ada kesamaan kasus, yakni gangguan jiwa, karena masalah jabatan.
Berdasarkan pertimbangan itu, makna ODGJ sebagaimana yang digunakan oleh kedokteran klinis itu, pada dasarnya memiliki makna yang sama dengan yang digunakan oleh analisis psikologi organisasi. Orang yang mengalami gangguan jabatan, adalah contoh masalah jiwa dalam bidang keorganisasian, termasuk dalam penyelenggarana pemerintahan, atau kelembagaan atau instansi atau satuan kerja yang lainnnya.
Memang, sangat disayangkan. Bilamana, amanah yang diemban seseorang itu, tidak dimaksudkan untuk memuliakan rakyat, karyawan, audien, atau masyarakat. Sangat disayangkan, bila amanah yang diemban seseorang itu, lebih mengedepankan kepatuhan pada penguasa, daripada kepada pemberi-amanah hakiki yaitu rakyatnya itu sendiri.
Analisis ini, setidaknya mengantarkan kita pada sebuah narasi yang cenderung banyak dilakukan orang di masa - kegelapan ini, yakni lebih mementingkan loyalitas, daripada kualitas. Jika demikian adanya, apa bedanya pejabat hari ini, dengan situasi di jaman penjajahan, yang lebih mementingkan loyalitas ke penguasa, daripada memberikan layanan prima kepada rakyat kebanyakan ?
Kita sepakat, loyalitas itu perlu, tetapi kualitas layanan itu adalah kunci utama dalam mewujudkan diri sebagai pemegang amanah sejati. Dengan pengedepanan kualitas, menunjukkan ada kepedulian kita, kepada pemberi amanah sejati, yaitu rakyat banyak. Dengan cara inilah, maka akan mudah dibedakan, orang yang terkena gangguan jabatan dengan orang yang berpikiran sehat dan cerdas dengan jabatan.
0 comments:
Posting Komentar