Just another free Blogger theme

Sabtu, 09 Maret 2024

Kejadian ini, sering terjadi. Minggu ini, anakku yang kedua, dengan teman sekelasnya, mengikuti program sekolahnya. Melakukan perjalanan ke luar kota. Judulnya, jelas pembelajaran di luar kelas. Tetapi, bahasa anak-anaknya, tetap sama, tak berubah dari dulu, hingga sekarang ini, piknik atau study tour.

Sebenarnya, perjalanannya tidak jauh. Masih dalam propinsi. Waktunya pun, tidak lama, hanya satu hari.  Kegiatannya pun, tidak aneh-aneh, yakni jalan-jalan ke tempat belajar (tempat wisata).  Seperti itu, dan biasa seperti itu, sebagaimana yang dilakukan oleh keumuman sekolah-sekolah yang melakukan wisata ke luar kota, dengan mengatasnamakan praktek pembelajaran di luar kelas.

Selepas study tour itu, anakku tumbang. Kelelahan. Istirahat seharian. Tidur seharian. Cape, lelah, lemes, katanya. Mungkin, kejadian itu, tidak sedikit orang yang merasakan. Pengalaman waktu di sekolah pun, beberapa bulan sebelumnya, sejumlah anak yang baru saja pulang dari study tour itu, di hari berikutnya yang sejatinya harus masuk sekolah, eh, malah pada bolos. Dengan alasan yang sama dan serupa, "cape, baru pulang study tour.."

Bila demikian adanya, muncul pertanyaan kita, apakah makna wisata dalam kaitannya dengan study tour itu, tidak tercapai ? Mengapa anaka-anak, tidak mendapat kebugaran fisik dan mental, selepas wisata, tetapi malah mendapat kelelahan setelahnya ?

Merujuk pada kejadian itu, setidaknya ada beberapa kritik atau koreksi terhadap penyelenggaraan kegiatan serupa itu. Pertama, kegiatan yang dilakukan lembaga pendidikan itu, belum mampu menyentuh fungsi therapy terhadap psikologi dan intelektualitas peserta didik.  Gejala yang terjadi, adalah lelah fisik dan mental, selepas melaksanakan study tour. Hal ini menggambarkan model dan jenis kegiatannya, lebih kentara sebagai aktivitas fisik, daripada aktivitas mental dan intelektual.

Kedua, peserta didik belum mampu menunjukkan kenyataman ruang, khususnya di tempat wisata. Tempat wisata atau tempat tujuan lebih dipersepsi sebagai 'tempat tugas kerja atau praktek belajar' daripada tempat wisata. Kalau anak-anak vokasional, memiliki kunjungan kerja  industri, maka sekolah umum memiliki tempat-kerjanya di tempat wisata. Sehingga, rasa-rasanya, tidak jauh berbeda antara praktek-kerja di tempat vokasi dengan tempat wisata, yakni menjadi beban-belajar. Dampak dari persepsi inilah, fungsi healing-nya dari wisata itu menjadi tidak terwujud.

Terakhir,  meminjam pandangan Sondra Fraleigh & Shannon Rose Riley (2024), yaitu ada kegagalan kemampuan kita dalam mengolah lingkungan dengan aktivitas harian kita sebagai bagian dari upaya penyadaran diri, dan pengembangan mental. 

Kedua orang ini, memublikasikan tulisan mengenai "Geographies of Us". Secara umum, buku ini memberikan penjelasan baik secara akademik maupun pengalaman praktis dari para pelaku, mengenai penanganan masalah somatis dengan pendekatan lingkungan. Sebutan mereka adalah ecosomatics. 

Dalam beberapa penggalan penjelasannya,  ekosomatik adalah bidang praktik dan penelitian multidisiplin yang menghubungkan praktik somatik dalam tari, gerakan, studi pertunjukan, dan budaya disabilitas dengan penyesuaian atau kesadaran ekologis. Kemudian, diungkapkan pula bahwa ekosomatik berfokus pada sensitisasi hubungan tubuh tidak hanya dengan diri sendiri dan orang lain tetapi juga dengan lingkungan dan alam.

Hemat kata, setidaknya, lingkungan (termasuk lingkungan wisata) bila bisa diolah sedemikia rupa, sehingga dapat menjadi lokasi healing.   Kemampuan itu, bisa dilakukan dengan aktivitas relaksasi yang kita lakukan, dan bukan merujuk pada aktivits eksploitasi fisik yang bisa menyebabkan seseorang mengalami kelelahan.

Bagaimana. pendapat pembaca ?


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar