Ada keraguan dalam memulai Ramadhan ? semoga saja, tidak. Andaipun, ada diantara kita yang merasakan hal itu, khususnya karena ada perbedaan waktu memulai ramadhan, maka hal itu adalah wajar. Bukankah, dalam kehidupan beragama di negeri kita ini, sudah biasa mengalami perbedaan sikap dalam menjalankan praktek keagamaan ?
Dialektika atau diskusi pakar dan pemikiran mengenai kapan memulai ramadhan, sudah lama menjadi bahan perbincangan pada ulama. Perbedaan mazhab pemikiran itu, sudah tumbuhkembang dengan baik di negeri kita. Tetapi, memang tidak semua orang paham, apa sisi soalan pokok, menyebabkan hal itu berbeda-beda ?
Pertama, perbedaan teknik penanggalan. Ada kelompok tertentu, sebut saja, Alif Rebo Wage (Aboge), memiliki hitungan tanggal, bulan dan tahun menurut hitungan (petungan) Aboge yang sudah baku dan tetap. Bila sudah demikian, maka tentunya, akan berbeda dengan mereka yang menggunakan kalender hijirah atau masehi. Tidak mengherankan, bila kemudian kelompok agama (Islam) itu, pelaksanaan shaum dan idul fitri kerap lebih awal daripada yang dilaksanakan umumnya di Indonesia (baik ormas keagamaan maupun Pemerintah).
Hal serupa terjadi pula pada kelompok an-Nadzir, aliran pemikiran Islam yang tumbuhkembang di Sulawesi Selatan, Gowa. Mereka menyandarkan waktu shalat dan penentuan tanggal ramadhan, kepada peristiwa alam faktual, dengan mengamati bulan purnama, atau pasang surut laut. Dengan pengamatan itu, mereka gunakan untuk penentuan tanggal dan bulan baru.
Kedua, perbedaan metode yang digunakan. Satu kelompok menggunakan model ru'yah (pengamatan faktual) baik menggunakan alat maupun langsung, dan satu kelompok lain menggunakan perhitungan (hisab). Orang yang menggunakan hisab, sudah tentu memiliki asumsi bahwa gerak bulan dalam orbitnya (manzilah) bersifat tetap dan bisa diprediksi, sedangkan orang ru'yah meyakini bahwa gerak bulan dalam orbitnya, di setiap harinya tidak tetap, kadang lambat kadang cepat.
Hasil dari perbedaan metode ini, kembali lagi, melahirkan perbedaan kesimpulan. Penetapan tanggal awal dan akhir ramadhan pun, berbeda, seperti yang teralami di banyak tahun di negeri kita ini.
Ketiga, perbedaan standar imkanur ru'yah (kemungkinan ketertampakkannya bulan). Pemerintah Indonesia dan negara tetangga, menetapkan secara astronomis, hilal dapat teramati jika bulan memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat. Artinya, walau dalam konteks hitungan sudah mulai muncul hari baru, namun bila belum tampak sesuai standar itu, maka tetap dikatagorikan belum terlihat.
Dalam bahasa awam, sesuatu yang imkanur ru'yah itu, bukan kelemeng-kelemeng atau samar-samar, melainkan sesuatu yang jelas dan tegas. Tetapi, dalam batasan tertentu, suasana samar-samar pun, dapat diyakini sebagai 'terlihat' jika memang itu adalah gejala yang pasti untuk merujuk pada bulan. Perbedaan ketertampakkan itulah, yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan keputusan.
Walaupun samar, kita tahu, mana istri sendiri dan mana istri orang lain. Tetapi, unuk keputusan yang pasti, kejelasan dan ketegasan kenampakkan adalah hal yang perlu dimiliki, untuk menghindari salah putusan.
Terkait hal ini, maka keyakinan terhadap ilmu, menjadi hal penting dalam menegukan sikap saat menjalankan agama. Maksudnya, manapun pilihan kita, sepanjang ada rujukan pemahamannya, maka hal itu, dapat dipahami, dan tetaplah teguh dalam pendirian !
0 comments:
Posting Komentar