Hal menarik yang perlu dikaji dan dicermati bersama, Ramadhan mengajarkan kepada kita mengenai perubahan perilaku. Tidak berlebihan, bila kemudian ada yang menyebutnya sebagai bulan belajar atau bulan pendidikan (syahru tarbiyah).
Proses pembelajaran yang terjadi itu, diantaranya adalah melakukan perubahan pola hidup. Untuk sekedar batasan-masalah, yang dimaksud dengan pola hidup adalah perilaku seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Misalnya, pola makan, pola tidur, pola belajar dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pola hidup itu lebih mengacu pada teknik atau cara seseorang dalam mengatur waktu hidup hariannya.
Sudah tentu. Kita akan bisa melihat kenampakkan sosial yang unik. Pola hidup ini, dijalani secara berbeda, antara satu orang dengan orang lainnya, antara hari lalu dengan hari-hari di bulan Ramadhan. Seseorang yang terbiasa memiliki pola makan 3 kali sehari, kini diubah polanya menjadi dua kali sehari. Pola makan itu pun, kemudian waktu makannya pun diubah, menjadi waktu sahur dan buka. Hal serupa itu, masuk dalam kategori perubaha pola hidup.
Hanya saja, memang, perubahan pola makan ini, lebih bersifat teknis. Tujuan lanjutan dari Ramadhan, rasa-rasanya bukan sekedar mengubah pola hidup, melainkan mengarah pada perubahan gaya hidup. Gaya Hidup tidak sekedar pola hidup, melainkan sudah menjadi bagian dari karakter atau kebiasaan.
Perubahan
pola makan, pola tidur, pola interaksi dan pola ibadah, yang selama ini
dilakukan di bulan Ramadhan, diharapkan tidak sekedar menjadi pola hidup
sesaat, melainkan menjadi sebuah kebiasaan. Pembiasaan di bulan Ramadhan,
diharapkan menjadi sebuah kebiasaan, Kebiasaan Ramadhan itulah, yang dimaksud
dengan gaya hidup. Oleh karena itu, sederhananya Ramadhan, memberikan
pembelajara kepada manusia untuk melakukan perubahan berkelanjutan, dari pola
hidup menjadi gaya hidup, atau istilah lainnya pola hidup positif yang
berkelanjutan.
Sebagai kritik. Kita kerap kali melihat, kalau pola hidup Ramadhan tidak menjadi bagian dari gaya hidupnya, maka tidak mengherankan bila kemudian di masa-masa akhir Ramadhan mulai ada pengenderon pola. Bahkan, di akhir Ramadhan atau awal syawal, atau lebih tepatnya setelah lebaran (idul fitri) pola hidup Ramadhan itu kemudian banyak yang mengalami kehancuran.
Di
awal syawal atau setelah idul fitri, perilaku sejumlah muslim hampir bisa dipastikan, ada yang mengalami
perubahan pola hidup lagi. Bahkan pola hidupnya itu, malah kembali ke pola
hidup sebelum Ramadhan terjalaninya.
Lha,
bukankah di bulan syawal, atau selepas Ramadhan, kita dibolehkan kembali makan
di siang hari ?
Betul. Gaya hidup itu, ternyata bukan soal waktu. Kalau mengacu pada waktu makan, seperti Ramadhan itu namanya, masih berpikiran mengenai pola hidup. Sementara dalam gaya hidup, bukan soal waktunya, tetapi soal nilai kebiasaannya, yakni hemat dalam konsumsi dan produktif dalam pemanfaatan waktu. Adapun, pengaturan jumlah, dan waktu kegiatannya, semua itu lebih mengacu pada pola hidup. Dengan kata lain, pada dasarnya, Ramadhan bukan sekedar mengubah pola hidup, melainkan menanamkan gauua hidup sehat, atau gaya hidup bermanfaat, gaya hidup maslahat.
Apakah
perjalanan spiritual manusia muslim Ramadhan berhenti sampai di sini ? tidak. Ternyata
tidak demikian. Setidaknya, inilah, yang tersadari penulis saat ini. Perjalanan
nilai Ramadhan tidak berhenti sampai pada penanaman gaya hidup. Karena gaya
hidup itu, cenderung dipengaruhi oleh pemikiran subjektif atau kepentingan
pribadi.
Ada pepatah tersiarkan, “kebutuhan hidup manusia murah dan sederhana, tetapi memenuhi kebutuhan haya hidup itulah yang mahal dan jelimet”. Dalam gaya hidup ada peran kehausan diri dalam mengejar obsesi, hasrat atau keinginan. Maka yang ditanamkan dalam Ramadhan itu, adalah mengubah gaya hidup menjadi sebuah orientasi hidup yang lebih mulia.
Apa
tanda adanya perubahan orientasi hidup ? Ramadhan bukan soal diet. Obsesi
menjadikan puasa sebagai instrument diet, dengan harapan memiliki tubuh ramping
adalah pola hidup yang diimbuhi hasrat gaya hidup. Padahal, puasa itu bukan
urusan jasmani, namun urusan penghambaan diri kepada Tuhan. Inilah yang disebut
orientasi hidup.
Di bulan Ramadhan, berpuasa bukan untuk hemat-hematan tidak makan siang, dan tidak boros belanja. Bukan itu, Ramadhan mengajarkan kita pada pemanfaatan kekayaan untuk hal-hal yang maslahat, baik dalam memenuhi kebutuhan pribadi, maupun kemaslahatan sosial, seperti infaq, shadaqah dan zakat. Di sini, harta pun tidak dijadikan instrument panjat sosial pencitraan, melainkan panjat-spiritual (panspirt) pada nilai Ketuhanan.
Sampai
pada titik inilah, dapat disederhanakan, bahwa Ramadhan mengajari kita mengubah
perilaku kita dari pola, gaya menjadi orientasi
hidup mulia.
0 comments:
Posting Komentar