Just another free Blogger theme

Sabtu, 16 Maret 2024

Membahas masalah sunnah, setidaknya ada tiga kategori makna yang tumbukembang di tengah Masyarakat.  Pertama, sunnah adalah sumber rujukan kedua dalam ajaran Islam. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. Karena itu, meminjam istilah Nurcholish Madjid (2012:3161) kadang ada pencampuradukkan pemikiran saat menyebut sunnah. Di tengah Masyarakat kita, kadang menyamakan kata sunnah dengan hadits. \


Kedua, sunnah  diartikan derajat hukum, yakni dibawah wajib, diatas mubah. Karena itu, ada sebutan amalan sunnah dan amalan wajib serta amalan mubah.  Shaum Ramadhan adalah shaum wajib, sedangkan shaum senin – kemis adalah puasa sunnah.

Terakhir, makna sunnah dalam level operasional. Dari sudut ini, makna sunnah itu adalah ‘kebiasaan”  atau “ yang biasa dilakukan”.  Istilah sunnah itu sendiri, menurut Kh. Hasyim Asy’ari (Asy’ari, 2011) mengandung dua makna, yaitu secara umum diartikan suatu jalan, walaupun tidak diridhai, dan secara syara yaitu jalan yang diridhai Allah Swt. Oleh karena itu, kata sunnah biasa pula diartikan segala hal yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat perangai atau sifat fisik. Baik sebelum diutus menjadi nabi ataupun setelahnya

Pertama, Sunnah Allah. Istilah sunnah dialamatkan kepada Allah Swt. Inilah yang disebut Sunnah Allah Swt. Salah satu rujukannya adalah :

سُنَّةَ اللّٰهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا ٦٢ ( الاحزاب/33: 62)

(Hukuman itu) sebagai sunatullah yang berlaku terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelum kamu. Engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunatullah.  (Al-Ahzab/33:62)

Salah satu kejadian yang masuk kategori Sunnah Allah Swt, adalah tidak berubahnya aturan atau hukum alam. Wa lan tajida lisunnatillah tabdilla. Setidaknya ada lima kali (al-Fath : 23, al-Ahzab : 38, Fathir : 43, Ghafir : 85), Allah Swt berfirman terkait dengan sunnah Allah Swt, yang memiliki karakter konsisten dan tidak mengalami perubahan.

 

Kedua, Sunnah Nabi. Dalam lisan kita, kata sunnah cukup banyak dirujukkan pada sunnah Nabi.  Bahkan, tidak jarang digunakan sebagai rambu-rambu pikiran dan perbuatan seorang muslim, “sesuai sunnah Nabi, gak ?”

Berdasarkan informasi yang ada, dapat disederhanakan, bahwa yang dimaksud Sunnah Nabi itu adalah sikap, tindakan, ucapan dan cara rasulullah menjalani hidupnya atau garis-garis perjuangan yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Referensi sangat jelas, yaitu hadis atau firman Allah Swt.

Pada salah satu firman Allah Swt, ada ayat berbunyi :

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا ٨٦ ( النساۤء/4: 86)

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu.  (An-Nisa'/4:86)

Selaras dengan hal itu, ternyata Rasulullah Muhammad Saw mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada diriwayat dari Abu Dzar dan Ali bin Abi Thalib datang menuju ke rumahnya Nabi. Sesampainya di sebuah rumah, Abu Dzar dengan spontan mengucapkan salam kepada Nabi:

“Assalamu’alaikum,” ucap Abu Dzar.

“Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh,” jawab Nabi Muhammad SAW. Semenjak saat itu Abu Dzar al-Ghifari dikenal sebagai orang yang pertama mengucapkan salah dalam Islam. Dengan kata lain, mengucapkan waalaikum salam warahmatullah wa barakatuh, adalah contoh dari sunnah nabi.

Ketiga, Sunnah Sahabat. Selain ada sunnah Nabi, umat pun perlu menyadari ada yang disebut sunnah Sahabat atau sunnah khulafa’ur rasyidin.  Pengetahuan dan memahami karakter dan kategori sunnah Sahabat ini, diharapkan menjadi bagian penting untuk mengembangkan sikap toleran dalam menghadapi adanya perbedaan.  Rasulullah Muhammas Saw membedakan, antara sunnati dan sunnata khulafai muhtadiina rasyidiin.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, dan Tirmidzi, no. 2677)

Salah satu contoh sunnah Sahabat ini, yaitu pelaksanaan Shalat Tarawih.  ibadah tarawih pertama kali dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi, Madinah pada tahun ke-8 Hijriah. Pada awalnya, Nabi Muhammad SAW melakukan shalat tarawih secara pribadi, kemudian diikuti oleh para sahabat yang tinggal di sekitar Masjid Nabawi.

Keempat, Sunnah Ulama. Setelah kita mengetahui ada yang disebut sunnah Nabi dan Sunnah Shahabat, kita pun dapat menemukan sunnah ulama.  Sunnah Ulama, adalah pikiran, perbuatan atau sikap yang dicontohkan oleh para ulama.

Gejala yang ada saat ini, yaitu adanya keragaman cara pelaksanaan ibadah shalat tarawih. Imam Malik sendiri memilih 8 rakaat tapi mayorits Malikiyah sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah yang sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20 rakaat, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat dan sempurna ijma’-nya. Bahkan, ada juga, masjid di kota-kota besar, yang menyelenggarakan shalat dua jenis, yaitu shalat tarawih berjama’ah 23 raka’at, dan bagi mereka yang 11 raka’at ada dibagian belakang, dan segera meninggalkan jamaah, selepas tecapainay jumlah raka’at.

Gejala ini, dapat kita sebutnya sebagai sunnah ulama, baik ulama salafi maupun khalafi (modern).

Contoh lain mengenai sunnah ulama yaitu ucapan dalam mengakhiri sebuah sambutan,  kalangan Muhammadiyah, mengucapkan “Wabillahi taufiq wal hidayah” atau “Nasrum minallahi wa fathun qariib”. Sementara orang NU masa kini, mengucapkan  “Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariiq” sebelum salam penutup.

Perlu ditegaskan di sini, ucapan penutup salam itu, bukan berasal dari Nabi atau Shahabat, tetapi dari para ulama , khususnya ulama di Indonesia. Kita mencatat bahwa istilah ini diciptakan oleh KH. Ahmad Abdul Hamid (w. 1998 ) dari Kendal, Jawa Tengah. Sebelumnya, KH. Ahmad pun membuat kalam penutup yang berbunyi, “Wabillahi taufiq wal hidayah”.

 

Terakhir, Sunnah Pribadi. Jika buka bersama, makan kolek, atau jengkol, atau  merokok dulu, y aitu namnya sunnah-pribadi, sunnatul fardhiyah (kebiasaan individual), bukan kebiasaan agama, atau sahabat atau sunnah Rasulullah.

Sebagai penutup, dan perlu dijadikan acuan, adalah sabda Rasulullah Muhammad Saw.

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim: 2398)

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar