Agak pahit menuliskan kalimat ini. Rasa-rasanya gak enak di lisan, tapi menggelitik di pikiran. Tersirat dalam tulisan, dan terbersit dalam pikiran, kalimat ramadhan sebagai pesta dramaturgi masyarakat.
lha kok bisa ?
Untuk memudahkan memahami kasus ini, kita pinjam dulu istilah dramaturgi, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Erving Goffman (1959). Menurut pendapatnya, drama atau teater memiliki makna yang sama dengan kehidupan masyarakat. Dalam pemahaman lain, kehidupan di masyarakat pun, tidak jauh berbeda dengan sebuah teater atau drama, yang boleh jadi dapat disebut teater kehidupan atau drama kehidupan. Setiap orang, memainkan perannya masing-masing, khususnya dalam melakonkan kisah dan cerita dalam satu fase kehidupan tertentu.
Bila demikian adanya, maka tidak salah bila kemudian, kita menyebutkan bahwa Ramadhan atau peristiwa bulan suci Ramadhan adalah salah satu episode dalam drama kehidupan seorang muslim, termasuk umat Islam Indonesia. Persoalannya, bila kemudian dianggap sebagai sebuah drama atau perilaku teatrikal, apakah kelakuan-kelakuan kita selama Ramadhan ini, termasuk perilaku yang orisinal. atau perilaku settingan ?
Waduh. Inilah persoalan krusial dan sekaligus kritis. Kelihatannya, penjelasan ini, bisa memancing emosi dan juga memancing kegelisahan intelektual. Sekali lagi, penulis sendiri saat ini, merasakannya bahwa istilah seperti ini, adalah istilah yang pahit, dan gak enak di rasakan. Tetapi, terpaksa harus dikunyah, dengan maksud untuk menemukan rasa aslinya, sehingga bisa benar-benar bernutrisi untuk dikonsumsi.
Pertama, penulis setuju, bahwa untuk mencapai sebuah tujuan, mau tidak mau, setiap orang harus merekayasa dirinya sendiri sesuai dengan cita dan harapannya. Setiap orang. Orang yang mau jadi dokter, harus berani merekayasa dirinya sehingga kelakuannya, selaras dengan maksud dan tujuan untuk menjadi dokter. Untuk menjadi seorang Geograf, harus berusaha semaksimal mungkin merekayasa pikiran, rasa dan kelakuannya, sehingga bisa mengarah pada cita dan harapannya untuk menjadi Geoggraf. Demikian pula dengan yang lainnya.
Dengan pemahaman serupa itu, bolehkah kondisi serupa itu dianggap sebagai sebuah dramaturgi ?
Kedua, ada perbedaan pokok antara teater dengan kehidupan. Dalam praktek teater, setiap pemain hanya memainkan peran. Tidak ada ruang ekspresi dan inovasi dalam merespon pola komunikasi. Setiap perannya, akan disesuaikan dengan maksud dan visi alur ceritanya. Sementara dalam kenyataan hidup, setiap orang akan memiliki ruang ekspresi yang terbuka, sehingga alur cerita, bisa berbeda-beda, bahkan bisa jadi jauh berbeda dengan skenario umum yang disematkan oleh penulis cerita.
Sebut saja, misalnya praktek Ramadhan. Menurut penulis cerita, dalam hal ini ajaran Islam, berpuasa itu untuk membangun pribadi pelaku supaya mampu mencapai derajat takwa, puncak prestasi kesalehan tertinggi dalam ajaran Islam. Setiap orang bersemangat untuk mengejar hal itu.
Fenomenanya, tampak dengan nyata. Kegiatan di media tv disetting sedemikian rupa sehingga, seakan-akan dimaksudkan untuk membantu membangun kesadaran Ramadhan. Mulai dari gaya bahasa, pola tuturan, pola perilaku, dan juga pakaian, serta setingan ruang kerja atau ruang siaran di media Tv. Semua itu disetting sedemikian rupa, sehingga diharapkan dapat mencerminkan suasana Ramadhan.
Tetapi itulah drama. Sebagai sebuah drama, mirip dengan pelaku drama yang lainnya, yaitu mereka menyembunyikan motivasi atau hasrat mereka yang sesungguhnya, dan menampakkan perilaku baik kepada masyarakat umum sehingga tidak terkesan protagonis. Mereka memerankan sikap dramaturgi, yaitu berbedanya antara pemahaman dan aktualisasi mereka secara internal dan eksternal mereka.
Bukti nyatanya apa ? selepas Ramadhan, mereka atau mungkin diri kita, kembali menjadi orang yang biasa saja, dan kembali ke jalan yang 'sebenarnya', yaitu jalan yang benar-benar sudah menjadi akar-kepribadian sendiri. Peran selama Ramadhan, seakan-akan selesai dan terhapus oleh pintu syawal dengan pesta idul fitri sebagai penandanya.
wooh, gimana nih ?
0 comments:
Posting Komentar