Tidak semua negara menggunakan konsep ‘alternatif’ dalam menyebut jenis layanan pengobatan di luar pengobatan yang dilakukan oleh teknologi pengobatan modern. WHO (2000) mencatat bahwa ‘the term compelementary/alternative/non-conventional medicine are used interchangeable with traditional medicine in some countries”. Sementara perbandingan dengan sistem pengobatan yang lainnya, WHO menggunakan konsep ‘the dominant health care system’.
Pada konteks inilah, maka rasional jika wacana ‘alternative’ dalam konsep pengobatan ini berkembangan secara cukup luas dalam masyarakat Kota Bandung. Bahkan, menjadi salah satu wacana yang berkembang dan menjadi bagian pertimbangan dalam menentukan keputusan untuk melakukan pengobatan alternatif.
Merujuk pada pemikian ini, konsep layanan pengobatan
yang dominan dan pengobatan alternatif akan memiliki konteks sosial yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Di negara Amerika Serikat dan Eropa,
sangat rasional jika disebut teknologi medik dan sistem pengobatan medik sebagai sistem pengobatan yang dominan, dan pengobatan
herbal atau pengobatan therapis menjadi ‘model
pengobatan alternatif’. Karena memang sistem pengobatan
herbal dan therapis merupakan model pengobatan yang tidak didominan di
gunakan. Hal demikian, akan berbeda konteks dengan negara
Perspektif ini sejalan dengan sudut pandang
kesejarahan dari teknologi kedokteran. Akar perkembangan dari teknologi
pengobatan ini, adalah praktek pengobatan tradisioanal, baik yang dikembangkan
di Yunani (misalnya Sokrates), maupun pengobatan yang dikembangkan oleh
kalangan muslim di Arab. Dengan demikian, wajar jika diantara pelaku pengobatan
tradisional, ada yang tidak setuju dengan penyebutan istilah alternatif,
terhadap sistem layanan pengobatan yang
diberikannya. Ide ini, sejalan dengan pandangan
Athar (1998), yang mengemukakan bahwa “many believe that the word
alternative medicine is a misnomer because unconventional medicine pre-existed
before conventional medicine”. Argumentasi
seperti inilah, dikemukakan pula oleh Asep (wawancara, 12/2004), Saefuddin
(wawancara, 12/2004) yang merasa keberatan terhadap penyebutan ‘alternatif’
terhadap praktek pengobatan yang dilakukannya, bahkan dia mengatakan “mestinya
pengobatan medik itulah yang disebut alternatif, yaitu pilihan lain dari sistem
pengobatan yang sudah ada”. Kedua orang ini, melakukan praktek pengobatan
tradisional di Kota Bandung.
Sudut pandang yang lain, yaitu dilihat bahan dasar
pengobatan, pengobatan non-medik menggunakan bahan obat herbal atau kekuatan
alamiah atau spiritual. Tradisi
pengobatan seperti ini, adalah tradisi pengobatan yang sudah berlaku dan
berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, sekali lagi, harus ditekankan bahwa
yang dimaksud dengan alternatif adalah teknik baru atau prosedur baru di luar
model atau pendekatan yang sudah
establish. Dengan kata lain, pengobatan medik yang dikembangkan oleh dunia
modern (Barat) merupakan model pengobatan alternatif dari pengobatan
tradisional yang sudah berkembang sebelumnya.
Terdapatnya ‘celah’ kritik terhdap makna dan status
model layanan pengobatan ini,
menyebabkan adanya kondisi pemahaman
masyarakat terhadap model layanan pengobatan yang ada menjadi anomaly. Konsep layanan pengobatan, menjadi sesuatu
hal yang mendua. Khususnya dari sisi pembangunan citra, ke alternatifannya
sebuah layanan pengobatan.
Kondisi
kemenduaan makna dari sebuah konsep ini, dapat dijadikan sebagai
‘instrumen politik’ dalam mencapai
sebuah tujuan, termasuk menyakinkan
masyarakat dalam memberikan reaksi sosial terhadap layanan pengobatan tradisional. Artinya,
dengan memanfaatkan kondisi kegandaan makna ‘alternatif’ dalam menyebut jenis
pengobatan, setiap pelaku pengobatan dapat meyakinkan masyarakat mengenai
keabsahannya pengobatan yang dilakukannya.
Merujuk pada kasus-kasus tersebut, responden
pengguna layanan pengobatan tradisional mendapat –meminjam istilah Arkoun
(1998)-- ‘jaminan sosial’ tentang
pengobatan tradisional. Maksud jaminan social adalah suatu stabilitas perasaan dan pikiran
responden mengenai status pengobatan yang digunakannya. Jaminan sosial ini,
muncul dalam bentuk yang variatif. Pertama, jaminan sosial dalam bentuk
teologis, yaitu adanya persepsi bahwa
pengobatan terapi spiritual atau religius, sejalan dengan ajaran agama yang
dianut si pengguna layanan pengobatan tradisional. Hasan Hanafi (2002) menyebutnya dengan
istilah model scriptural medicine. Kedua, yaitu bentuk jaminan historik
etnikal.
Kondisi ketidaknyamanan psikologis tersebut,
dijadikan sebagai salah satu modal promosi kesehatannya kalangan pelaku
pengobatan alternatif. Promosi
kesehatan, baik dalam bentuk brosur maupun dalam informasi spanduk, kadang
mencantum pernyataan pengobatan alternatif adalah pengobatan ‘tanpa operasi,
tanpa obat kimiawi’. Sementara pernyataan dari ATFG, yang berbunyi, “bukan
sihir”, merupakan salah satu model promosi dalam memberikan jaminan teologis
kepada masyarakat.
Strategi pemasaran seperti ini, merupakan salah satu bentuk trik dalam
memberikan jaminan keamanan kepada pengguna dalam menjalani proses
pengobatan. Dengan adanya jaminan sosial
seperti ini, maka masyarakat memiliki satu keyakinan bahwa pengambilan
keputusan dalam memanfaatkan layanan pengobatan tradisional, bukan sebuah ‘kesalahan sikap dalam pengambilan
keputusan’, tetapi mereka menganggapnya sebagai satu alternatif pilihan
rasional yang dilandasi oleh kesadaran pemikiran rasional dalam melakukan upaya
penyembuhan terhadap penyakit yang sedang dideritanya.
Akumulasi dari jaminan sosial
itulah yang kemudian memberikan satu ‘keamanan ontologis’ bagi responden dalam
menggunakan pengobatan alternatif.
Artinya, dengan adanya argumentasi dan persuasif mengenai
‘kealternatifan’ layanan pengobatan tersebut (baik dari sesama pengguna maupun
pelaku layanan pengobatan) responden merasakan ada satu ‘kebenaran sikapnya’
dalam mengambil keputusan untuk memanfaatkan layanan pengobatan
alternatif\tradisional. Hal demikian,
bukan hanya didukung oleh penjelasan
yang memuaskan rasionya, tetapi didukung pula oleh adanya beberapa bukti akan
kemampuan model pengobatan alternatif dalam menymbuhkan penyakit yang serupa
dengan penyakit yang dideritanya, oleh karena itu, responden merasa aman secara
‘ontologi’. Merujuk pada pengertian Giddens (2003:28,457) bahwa yang dimaksud dengan keamanan ontologis
(ontological security) adalah satu keyakinan bahwa dunia alam dan sosial itu kondisinya
seperti yang tampak. Termasuk dalam hal ini,, mengenai paramater dasar dari
keyakinan tersebut. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan pengobatan adalah
sebuah praktek penyembuhan. Apapun nama dan bentuknya, bila praktek sosial
tersebut mampu memberikan layanan penyembuhan, maka akan dianggap oleh
masyarakat sebagai sebuah proses atau praktek pengobatan.
Melalui wacana ini, berdasarkan hasil penelitian di
lingkungan masyarakat masyarakat Kiaracondong Kota Bandung, ditemukan ada
gejala perubahan konstruk nalar dalam
memposisikan makna pengobatan alternative.
Bahkan, bila dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan dalam
perilaku sakitnya,ada proses gejala intelektualisasi terhadap konsep
pengobatan alternatif. Dengan kata lain, masyarakat
0 comments:
Posting Komentar