"saya, masih tetap, seperti dulu. Hak bicara saya, tetap hak asasi, yang tidak bisa dibatasi oleh apapun, termasuk kekuasaan !!". itulah kesadaran yang ada dalam diri ini.
"bahkan, usia sekalipun, tidak bisa menutupi hak bicara saya.."
Ada pengalaman unik di sore ini. Sejatinya, tidak baru. Saya secara pribadi, kerap merasakan dan menemukan teman dialog yang bertensi tinggi, dengan kekuatan argumentasi yang kadang, bisa naik, bisa turun, bisa logis, dan bisa pula emosional, bisa intelekual dan bisa juga berbasis kekuasaan. Tensi itu, bukan hanya pada lawan dialog, tapi diri kita sendiri pun, potensial terpancing untuk sampai pada situasi serupa itu.
Membuncahlah ! kaya permen pelangi, warna-warni, dan tak sadar kerap berhampuran tak karuan, atau mungkin tak terkendalikan, baik diri sendiri maupun lawan dialog. Sekali lagi, saya sebut lawan dialog !!!
Karena ada pengalaman di sore itu pula, saya kadang suka inget, ada senior yang mengatakan, "usiamu berapa tahun?" sebuah pertanyaan yang kemudian dijawab, segitu !, " oh, nanti kalau sudah 40 tahunan, saya yakin, kamu akan berubah sikap !" ungkapnya beberapa tahun yang lampau.
Di saat usia itu terlampaui, saya kadang berpikir ulang, "apa iya, dugaan itu akan terjadi ?" rasanya, sampai detik ini, belum banyak berubah sikap. Itulah pikiran subjektifnya. Bahkan, dengan tegas, bahwa hak bicara itu adalah hak asasi yang tidak boleh diabaikan, oleh siapapun, dan oleh apapun.
hmmmm, sekali lagi, itu pandangan sendiri. Boleh kan, kita menyatakan apa yang kita rasakan ? tapi, ya, begitu juga sih, menurun rekan-rekan di sekitarku, saya sudah banyak mengalamai perubahan, dibandingkan dengan masa usia sebelum sekarang-sekarang ini.
Ok.. dech ! biarkan itu, menjadi bahan gunjingan saja. Hal penting yang ingin disampaikan, bahwa sisa karakter masa lalu (jika memang hendak disebut sisa), masih ada dan terasa saat ini. Suaraku adalah hakku.
Ini bukan tekad, dan bukan pula, api permusuhan. Tidak ada, pikiran dan pandangan ke arah itu. Jadi, manakala, ada pihak-pihak tertentu, baik itu raja kecil, atau lurah besar, menganggap bahwa suara keras yang saya miliki sebagai sebuah permusuhan, adalah keliru besar.
Keliru dan sangat keliru.
Sikap pikiran, berbeda dengan sikap politik. Setidaknya itulah yang saya pahami. Sikap politik mengarah pada kepentingan kekuasaan, sedangkan sikap pikiran, mengarah pada logika dan rasionalitas. Bahasa yang lainnya, sikap politik potensial ke arah sikap pembenaran, sedangkan sikap pikiran mengarah pada nilai kebenaran. Inilah perbedaan dasar dan hakiki dari sikap intelektual atau sikap pikiran.
Seseorang yang memiliki sikap pikiran, cenderung egois. Mungkin, ya, mungkin juga tidak. Disebut, potensial memiliki sikap egois, manakala pihak lawan tidak mampu memahami alur pikirnya, dan argumentasi lawan tidak mampu menunjukkan kelemahan sikap pikirannya. Di luar hal itu, maka egois dari seorang pemilik pikiran, akan dirasakan oleh lawan dialog.
Di sisi lain, sikap serupa itu pun, tidak bisa dikategorikan sebagai sikap egois. Karena sejatinya, seseorang yang memiliki tradisi berpikir, akan mudah berubah pandangan, manakala ada logika berpikir yang mampu menguji keabsahan pemikiran dan memverifikasi pemikirannya. Bila ada logika baru, dan atau data baru yang dapat digunakan untuk menunjukkan kelemahan argumentasinya, saya yakin, si pemilik pikiran akan berubah secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Persoalannya adalah, kita berharap si pemilik pikiran harus berubah, sementara kita sendiri gagal menunjukkan kelamahannya, malah kemudian dengan serta merta kita menuduh bahwa orang tersebut egois dan ingin menang sendiri.
waduh.... celaka !
0 comments:
Posting Komentar