Just another free Blogger theme

Kamis, 17 November 2022

Kamu pernah berfikir akan menjadi seorang kondektur bis ? mungkin juga tidak pernah sedikitpun kepikiran. Wajar. Jika kamu masih berusia 15 atau 20 tahunan, dan kamu menganggap orangtua masih bisa bekerja, kamu tak akan pernah kepikiran seperti itu. Tetapi, bila tidak begitu. Mungkin juga, kamu terpaksa harus menjadi kondektur atau biasa disebut kenek. Ya kenek, pendamping supir dalam sebuah kendaraan umum.



Melihat kenyataan yang ada saat ini, seorang kenek ternyata memang tetap sebagai manusia biasa. Dalam bekerja pun, tidak bisa melepaskan diri dari posisinya sebagai dirinya, ayah, suami atau seorang kenek dalam sebuah bis. Dari kendati memang ada cerita, di dalam bis, seorang kenek bisa melupakan keluarga, atau malah mengingat-ingat keluarga terus. Dua peristiwa itu, kerap bermuncul saling bergantian.

Saat itu, kamu duduk di di bangku 3 dari belakang di sebuah bis. Perjalanan kali ini, kamu sudah jauh. Jalan rata dan halus, bukan jaminan buat telingamu bisa istirakat, dan nyaman duduk di jok bis yang kamu tumpangi. Bahkan, pada saat itu pula, telingamu tampak meruncing seolah taki-taki untuk  menyerap suara percakapan orang yang ada dibelakang.

”berisik amat...”gumammu pada waktu itu. Sambil larak lirik ke kanan ke kiri, kamu terlihat sedikit gelisah. Gelisah bukan karena punya masalah pribadi, namun gelisah rasa ingin tahu mengenai apa yang sedang terjadi. Setelah beberapa sudut kamu lihat, hingga kepalamu diputar, barulah kamu tahu, bahwa dibelakang mu itu ada seorang kenek yang tengah bertelepon ria dengan seseorang di seberang sana.

Kamu pasti tahu, dan tidak perlu dijelaskan kepada kami semua. Kenektur itu memang sedang duduk dibelakang, dan hampir melupakan tugasnya sebagai seorang kenektur. Kendati kita tidak bertanya kepadanya, namun dia pun mengeluarkan kata-kata yang seolang menjawab keraguan kita.

 ”Biarin aja, ada kondektur ini...”jawabnya tegas. Seolah menjawab pertanyaan orang di seberang sana. Wah....wah.., orang di seberang sana seolah paham terhadap apa yang sedang kamu pertanyakan.

Karena si konektur seolah hirau dengan yang ada di lingkunganya, maka kamu pun kembali memberbaiki posisi duduk, mencari suasana dan posisi yang enak buat duduk. Dengan reflek, tanganmu membuka-buka kembali buku, dan mengambilan pandangan ke huruf-huruf yang ada dalam buku tersebut. Buku yang bertemakan kekuasaan dan kekerasan menurut teori Galtung, hampir rampung dibaca.

Dibelakang, sang kenek terus-terus saja berceloteh. Kamu sih perempuan tidak pernah mau ngerti. Urus sendiri aja. Tangisanmu gombal. Sudah saya akan hapus nomor ini. Saya tidak jadi pulang. Omongamu tidak pernah terbukti. Pembohong. Dan lain sebagainya.

Mendengar umpatan demi umpatan itu, keningmu kelihatan berkerut. Entah mikir, entah pusing. Entah pula kesel. Tapi bibirmu berucap kata, ”apa gak malu ngomongin keluarga di bis umum seperti ini ?” pertanyaan ini, tidak keluar dari mulutmu. Karena saya lihat, kamu ada dalam kondisi yang ingin menghargai orang lain. Ehh....atau mungkin kamu ingin tahu akhir dari sinetron dunia selular itu...

Entah ini kejadian yang pertama, atau yang pertama bagiku. Namun dulu kamu pun sempat berkisah bahwa di bis yang dikendarai itu, kadang banyak kisah yang bercerita tentang masalah pribadi.bukankah dulu kamu pernah bertutur, bahwa suatu saat kamu merasa haru dengan seorang remaja putri yang ada dalam bangku bismu.

Sisi penampilan tidak begitu sempurna. Tubuhnya pun tidak begitu menarik untuk ukuran pandangan mata. Ya, setidaknya menurut pandangmu waktu itu, kamu tidak merasa tertarik dengan perempuan itu. Buktinya sangat sederhana, yaitu setelah kamu di kasih nomor hapenya pun, kamu tidak pernah melanjutkan komunikasi itu. No hp. Tinggal huruf tergeletak dalam ponselmu. Sementara dia terus melanjutkan perjalanan sejarahnya.

Waktu itu, kamu duduk di dua. Dalam beberapa menit berikutnya ada seorang gadis naik dan duduk disampingmu. Seperti biasa. Harga diri dan tahan harga, kamu pasang lebih dulu. Maka, hanya ucapan ”mangga...” yang terucap sebagai sekedar menjawab pertanyaan permohonan izin dia untuk duduk disampingmu. Beberapa waktu awal, matamu bermain menatap kehadiran gadis tersebut, mulai dari barang bawaannya, hingga sepintas wajah dari samping kanannya. Setelah itu, kamu pun memalingkannya kembali ke jendela luar untuk sekedar melihat awan di atas sana.

Ketika suasana sudah mulai tenang. Lidahmu berucap, ”Mau kemana teh...?” pertanyaan itu, kemudian dijawab dengan tatapan sang gadis dan senyum. Melihat perilaku itu, kamu pun terlihat senyum.

”Ke purwakarta...” jawabnya singkat. Setelah menjawab itu, kemudian dia memberanikan diri untuk mengenalkan diri, dan kamu pun menjawabnya. Karena sudah merasa kenal, perbincangan pun melebar ke sana ke mari. Pada kaitan itulah, kamu berdua lupa pada orang-orang yang ada di sekitarmu, dan lupa tentang tempatmu tinggal. Kamu bukan di rumah, bukan pula ditempat yang sunyi. Kamu tampaknya lupa dan hanyut dalam obrolan dengan teman dudukmu waktu itu. Padahal kamu sedang ada dalam bis, BIS Umum. Tema pembicaraan pun ngelantur ke sana ke mari. Termasuk kamu bicara masalah pribadimu, dan rencana masa depanmu.

Memang menarik. Pengalamanmu selama di bis ini, memberikan gambaran kepada saya dan juga orang lain, bahwa bis itu adalah milik umum, tetapi terasa menjadi milik pribadi. Di sini, di bis umum ini, kamu merasa bebas dan merasa sangat berhak untuk berbicara apapun, dan atau melakukan apapun. Ruangan ukuran 2 xi 20 m itu, banyak yang sudah tidak menganggapnya sebagai milik umum. 

Seorang kakek merasa tersinggung karena ditegur oleh ibu-ibu yang mau pergi ke Bekasi. ”Emang ga boleh...merokok itu hak asasi bu..?” sergahnya dengan sedikit melotot.

”hak asasi apa, asapnya itu nyampe ke anak saya tahu...” serongot ibu, sambil berdiri dan langsung membuka jendeka bis lebar-lebar.

Melihat kejadia itupun, yang kebetulan juga, kamu ada disamping jok si Kakek tersenyum. ”untung ada si ibu, saya juga pengap, mau ngomong gak berani..., ya lumaya. Makasih bu” gumammu waktu itu.

Hal yang ingin disampaikan dalam bagian ini, pengalaman perjalananmu saat itu, memberikan gambaran awal bahwa sudah ada pergeseran, atau memang ini adalah makna yang tumbuh subur di masyarakat kita, bis tidak lagi dianggap sebagai ruang publik. Bis atau kendaraan lebih banyak dimaknai sebagai ruang pribadi.

Dalam ruang bis inilah, kami pun pernah mendengar seperti hal yang teralami oleh kamu. Saya pun sempat merasakan, dan ini terjadi di rel kereta api. Di gerbong itu, setiap orang bisa bicara sebebas dirinya menyatakan keinginannya.  Mereka tidak menganggap ini adalah ruang publik yang ada etika publik. Mereka menganggap gerbong adalah sarana umum untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu, ketika dirinya mau merokok, ngobrol, dengerin musik, tertawa terbahak-bahak, atau pelukan dengan pacar sekalipun, mereka akan lakukan di ruang itu. Sementara orang yang ada di sekitarnya, tetap akan dianggap TIDAK ADA. Tak peduli dengan tatapan atau gerutuan orang, yang penting kamu merasa happi melakukannya di gerbong itu.

Ruang bis adalah simbol dari kendaraan milik publik, kendaraan rakyat kecil. Sebagaimana yang kamu ceritakan, kisah ini terjadi di bis umum, atau damri, dan juga di gerbong kereta api. Di kendaraan rakyat kecil itulah, ruang umum kini banyak diklaim menjadi milik pribadi.

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar