Tanah pusara
itu, masih terlihat basah dalam
tatapan mata. Terasa dingin-dingin empuk, dalam degapan jemari lentik sang
anak-adam. Bebungaan segar, menceritakan tentang kerelaannya sang karib tuk
melepasnya. Harumnya mawar kematian,
menandakannya harumnya keikhlasan sanak-kadang dalam melepas-nya. Dalam
pusara itu, entah siapa, sesaat yang
lalu mengucapkan salam pada benderang mentari. Entah orang mana, yang begitu
berani tuk mengatakan selamat tinggal pada sang rembulan. Namun, yang pasti
pusara itu, kian mengingatkan kepada setiap pejalan di muka bumi, bahwa
panggilan Bunda Pusara, akan menunggu gilirannya masing-masing.
Tak
jauh dari tempat itu, dan memang
sangat dekat dibandingkan bayangannya sendiri. Berdiri tegak kuncen, yang
senantiasa menunggu datangnya peserta baru yang akan tinggal di daerah tersebut.
“Anakku,…apa yang kau risaukan dalam
kehidupan ini ?” sapanya dengan penuh
kasih sayang.
“Aku tidak mengerti, benarkah bahwa
manusia itu kerjaannya adalah menjengkali kematian ? untuk apa semua ini
dilakukan ?” tanyaku dengan rasa keherannya yang mendalam.
Diapun terdiam. Sambil menggerakkan kepalanya menatap bebintangan di atas langit, dia pun berjalan-jalan kecil di pinggiran pusara yang ada di sekitar makam yang ada saat itu. Kemudian dia menatap sebuah bintang kecil yang bercahaya terang benderang. Tepat di atas pusara yang kini kami hadapi bersama, bintang itu berkerlip sedetik-demi sedetik. Dengan kesetiaannya, kendatipun cahaya mungil itu disinarkannya ke bumi, namun bintang ini setia menemani bumi sepanjang malam.
Dalam suasana yang gelap, kutatap wajah hitam peputihan sang Kuncen itu. Tak jelas penampakannya. Hanya saja, terlihat wajahnya menyegar kembali, seolah-olah keceriaan itu baru muncul dalam dirinya. Wajah keputihan yang semula, ketidakberdarahanyan diawal pertemuan, kini kembali ceria. Desahan napasnya terdengar secara halus dan teratur. Bebinarnya kelopak mata, mencerminkan seakan-akan telah menemukan sesuatu hal yang sangat didambakannya. Entahlah, apakah bahagia karena dia menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu, ataukah dia menemukan sebuah pertanyaan yang selama ini diidamkannya. Cukup lama hal ini terjadi. Namun, tak kunjung jua menjawab pertanyaan yang kuajukan malam itu.
“anakku,…” sapanya dengan lembut.
Tataplah bintang yang tepat ada di atas pusara ini. Cahaya itu, sangat jelas kau lihat. Cahaya itu, hanya satu diantara seribu bebintangan yang ada di ruang angkasa. Sempat kah kita beryanya kepada mereka ? sangat jarang manusia mau bertanya tentang prinsip hidup yang dipegang oleh makhluk Tuhan yang satu ini ? padahal mereka pun adalah salah satu isyarat kehidupan yang patut untuk dicermati, ditafakuri dan diingat oleh manusia sejagat ini.
0 comments:
Posting Komentar