Just another free Blogger theme

Sabtu, 19 November 2022

“Anda tidak usah memberikan penilaian…”sergah seorang hakim. Saya pun jadi terdiam sejenak. Mata-kepalaku melirik ke kanan dan ke kiri. Seolah ingin minta bantuan, atau ingin tahu melihat bagaimana pandangan mereka tentang apa yang tengah kurasakan saat itu. Pada saat itu, pikiran pun sempat berfikir untuk mengartikan ucapannya. Hati pun sempat bertanya-tanya terhadap pikiranku sendiri, mengenai apa yang baru saja terjadi atau baru saja ku ungkapkan.



“Anda ungkapkan saja, faktanya…gak usah memberi penilaian…”tegas ulang hakim, melihat keraguan yang ada dalam diriku. Setelah mendapat penjelasan seperti itu, ‘pangacian’ (ruh-kesadaranku) kembali hadir, dan siap melanjutkan persidangan yang tengah di gelar di Pengadilan Bandung.  Kendati belum ngerti mengenai apa mungkin manusia bisa membedakan antara fakta dan penilaian ? atau setidaknya, apa mungkin saya bisa melakukan hal itu ?

Ini adalah pengalaman pertama hadir di tengah persidangan. Ini adalah pengalaman pertama kalinya seumur hidup ini. Lima tahun sebelumnya,  pernah dipaksa hadir di ruang kepolisian untuk memberikan kesaksian, namun itu tidak jadi diperiska, dengan alasan posisiku tidak ada hubungannya dengan kasus yang terkait. Emang tidak terkait, karena dengan kasus yang ada itu, posisi saya hanya karena sahabat dekat saja, dan tidak terkait dengan pekerjaan yang dilakukannya. Namun, pemeo di masyarakat yang mengatakan bahwa ”tidak akan menang, kalau melawan pejabat....” terus menggelayut dalam perasaan ini.

Pengalaman lain, yaitu satu bulan menjelang menikah, saya pun sempat diwaswaskan harus berhadapan dengan pengadilan di Garut gara-gara kena tilang.  Masalahnya sangat sederhana, karena dianggap melanggar peraturan lalu lintas, dan kemudian karena tidak mau menjalani sidang di lokasi, maka saya pun diajukan ke pengadilan di Garut.  Itu pun tidak terlaksana juga, karena untuk sampai pada sidang ’yang sesungguhnya’ ternyata sangat panjang. Satu sisi saya keukeuh (ngotot) ingin tahu sidang kasus Tilang kendaraan roda dua secara nyata, malah terjebak pada pintu-pintu birokrasi yang panjang. Banyak meja yang harus dilalui. Kemudian satu persatu dilalui, dan tanpa sadar –mungkin karena tidak tahu prosedur yang sesungguhnya, saya  terhenti pada satu titik meja tertentu.

Pada titik itu, menurut ’cerita’ orang yang saya hadapi di titik meja itu, katanya masalahnya sudah bisa diselesaikan di meja tersebut. Karena buta terhadap masalah hukum, akhirnya, ”biaya tilang pun keluar juga di ruang sidang, besarannya sama dengan sidang di tempat.” Kejadian ini pun, tetap tidak memberikan pengalaman sejati mengenai proses persidangan, karena setelah dipikir ulang, proses yang baru saja terjadi itu bukanlah sebuah proses persidangan, namun lebih layak disebut negosiasi di meja staff. Entahlah. Hal yang sudah jelas, bagi saya secara pribadi praktek persidangan itu, masih bersifat cerita atau berita dari media.

Baru pengalaman tahun inilah, saya merasakan pengalaman unik di kursi ”pesakitan”. Duduk sendirian di tengah, dan dikelilingi oleh orang-orang yang memosisikan pesakitan sebagai ’mangsa’. Siapapun kita, ketika duduk di kursi pesakitan akan menjadi ’sasaran’ pertanyaan dari jaksa, hakim, pengacara atau jaksa penuntut umum termasuk wartawan.

”saya melihat bahwa tindakan mereka itu adalah tidak prosedural....”

”ehhhh, jangan beropini...ungkapkan saja faktanya..” potong hakim lagi. Kali ini, nadanya agak keras. Setidaknya itulah perasaan yang saya alami, ketika mendengar potongan kalimat itu. Secara pribadi, degup jantung sempat menguat dan mengeras, mendengar sergahan dari hakim tersebut. Hal itu, bukan saja karena dia memotong pembicaraanku, namun karena perintah itu berulang-ulang dikemukakannya.

”jangan menilai...jangan beropini...jangan !  ungkapkan saja faktanya..” itulah patahan kata yang hakim minta, dan harus dilakukan oleh seorang saksi.

Masalah yang kini menggelayut dalam pikiran–sempat pula terfikir ketika masih ada di kursi pesakitan itu, yakni ”mengapa saya tidak boleh memberikan penilaian..?”  mengapa seorang saksi tidak boleh memberikan penilaian ? dan siapa yang berhak memberikan penilaian ?  jaksakah, hakimkah, pengacarakah, atau siapa ? mengapa hal ini terjadi di tengah-tengah lembaga yang katanya, bahwa setiap manusia memiliki posisi yang sama di depan hukum ? padahal, bila saya berfikir tentang statusku duduk di kursi itu, sudah jelas berbeda dengan siapapun yang hadir di ruangan itu. Saya sekedar berposisi sebagai saksi. Bukan yang lain.

Saya jadi ingat, Gunnar Myrdal (1982) memang pernah memberikan penekanan mengenai adanya perbedaan antara penilaian dengan kebutuhan pengembangan ilmu, begitu pula dengan keyakinan dan budaya ilmiah. Cornelius Antonio van Peursen (1990) pun sempat memberi uraian mengenai perbedaan antara fakta, nilai dan peristiwa. Para pemikir itu, dengan jelas memberikan analisis mengenai adanya perbedaan antara fakta dan penilaian. Secara sederhananya, seolah ada keinginan (hasrat manusia)  untuk menjelaskan bahwa fakta itu bersifat netral, sedangkan penilaian sudah ada keterlibatan subjektivitas si pelaku.

Namun, haruskah seseorang dipisahkan dari hasratnya untuk memberikan penilaian ? Mungkin seseorang dijauhkan dari hasrat menilai ? inilah pertanyaan dasar yang ingin dikemukakan dalam wacana ini. mengapa hal ini penting, jelas sudah karena saya berkeyakinan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari penilaian, dan ilmu pun tidak boleh menjauhi nilai. Objektivitas penting, namun bukan berarti bahwa harus hampa nilai. Karena sesungguhnya, kebermaknaan sebuah peristiwa atau sebuah fakta, justru karena ada nilainya.

Terhadap kejadian ini, saya menemukan ada beberapa hal yang bisa jadi akan menjadi bagian penting dalam masalah hukum di negeri kita. Pertama, hukum di Indonesia tidak memiliki makna yang tepat. Karena, saksi atau malah si pelaku dicabut dari posisinya untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa (fakta). Kedua, ketika nilai dicabut dari peristiwa, maka kita akan kehilangan makna. Bisa jadi, kasus Mpo Minah yang mengambil kakao 3 butir itu sesungguhnya akan dengan mudah mendapat keadilan dan pengadilan yang manusiawi jika hukum di Indonesia mengandung nilai. Orang mengambil barang, karena unsur kelaparan, sejatinya tidak boleh disamakan dengan mengambil kekayaan negara karena unsur kewenangan yang dimilikinya. Yang pertama (Mpo Minah, adalah penyelamatan hidup), sedangkan kasus kedua adalah penyelewengan kekuasaan demi penyelamatan keserakahannya.

Hukum tanpa keadilan bisa lahir dari proses pencabutan makna atau nilai dari sebuah pristiwa. Sehingga proses pengadilan kita, penegakan hukum di negeri kita, kurang (untuk tidak menyebut kata ”tidak”) pernah mempertimbangkan aspek nilai, aspek budaya atau konteks terjadinya sebuah peristiwa. Padahal saksi itulah, yang merasakan nilai sebuah peristiwa atau makna sebuah peristiwa, dan bukan orang lain.

Pada konteks itu jugalah, saya menemukan satu kesimpulan bahwa bila seorang saksi tidak diizinkan memberikan penilaian, hal ini  menggambarkan bahwa setiap orang tidak memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Hakim dan Jaksa diberi kewenangan untuk menafsirkan peristiwa atau fakta, dengan merujuk hukum, sementara saksi tidak diberi kesempatan untuk memaknai peristiwa sesuai dengan konteks yang teralaminya. 

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar