“Anda tidak usah memberikan penilaian…”sergah seorang hakim. Saya pun jadi terdiam sejenak. Mata-kepalaku melirik ke kanan dan ke kiri. Seolah ingin minta bantuan, atau ingin tahu melihat bagaimana pandangan mereka tentang apa yang tengah kurasakan saat itu. Pada saat itu, pikiran pun sempat berfikir untuk mengartikan ucapannya. Hati pun sempat bertanya-tanya terhadap pikiranku sendiri, mengenai apa yang baru saja terjadi atau baru saja ku ungkapkan.
“Anda ungkapkan saja, faktanya…gak
usah memberi penilaian…”tegas ulang hakim, melihat keraguan yang ada dalam
diriku. Setelah mendapat penjelasan seperti itu, ‘pangacian’
(ruh-kesadaranku) kembali hadir, dan siap melanjutkan persidangan yang tengah
di gelar di Pengadilan
Ini adalah pengalaman pertama
hadir di tengah persidangan. Ini adalah pengalaman pertama kalinya seumur hidup ini.
Lima tahun sebelumnya, pernah dipaksa
hadir di ruang kepolisian untuk memberikan kesaksian, namun itu tidak jadi
diperiska, dengan alasan posisiku tidak ada hubungannya dengan kasus yang
terkait. Emang tidak terkait, karena dengan kasus yang ada itu, posisi saya
hanya karena sahabat dekat saja, dan tidak terkait dengan pekerjaan yang
dilakukannya. Namun, pemeo di masyarakat yang mengatakan bahwa ”tidak akan
menang, kalau melawan pejabat....” terus menggelayut dalam perasaan ini.
Pengalaman
lain, yaitu satu bulan menjelang menikah, saya pun sempat diwaswaskan harus
berhadapan dengan pengadilan di Garut gara-gara kena tilang. Masalahnya sangat sederhana, karena dianggap
melanggar peraturan lalu lintas, dan kemudian karena tidak mau menjalani sidang
di lokasi, maka saya pun diajukan ke pengadilan di Garut. Itu pun tidak terlaksana juga, karena untuk
sampai pada sidang ’yang sesungguhnya’ ternyata sangat panjang. Satu sisi saya keukeuh
(ngotot) ingin tahu sidang kasus Tilang kendaraan roda dua secara nyata,
malah terjebak pada pintu-pintu birokrasi yang panjang. Banyak meja yang harus
dilalui. Kemudian satu persatu dilalui, dan tanpa sadar –mungkin karena tidak
tahu prosedur yang sesungguhnya, saya terhenti pada satu titik meja tertentu.
Pada titik
itu, menurut ’cerita’ orang yang saya hadapi di titik meja itu, katanya masalahnya
sudah bisa diselesaikan di meja tersebut. Karena buta terhadap masalah hukum,
akhirnya, ”biaya tilang pun keluar juga di ruang sidang, besarannya sama dengan
sidang di tempat.” Kejadian ini pun, tetap tidak memberikan pengalaman sejati
mengenai proses persidangan, karena setelah dipikir ulang, proses yang baru
saja terjadi itu bukanlah sebuah proses persidangan, namun lebih layak disebut
negosiasi di meja staff. Entahlah. Hal yang sudah jelas, bagi saya secara
pribadi praktek persidangan itu, masih bersifat cerita atau berita dari media.
Baru
pengalaman tahun inilah, saya merasakan pengalaman unik di kursi ”pesakitan”.
Duduk sendirian di tengah, dan dikelilingi oleh orang-orang yang memosisikan
pesakitan sebagai ’mangsa’. Siapapun kita, ketika duduk di kursi pesakitan akan
menjadi ’sasaran’ pertanyaan dari jaksa, hakim, pengacara atau jaksa penuntut
umum termasuk wartawan.
”saya
melihat bahwa tindakan mereka itu adalah tidak prosedural....”
”ehhhh,
jangan beropini...ungkapkan saja faktanya..” potong hakim lagi. Kali ini,
nadanya agak keras. Setidaknya itulah perasaan yang saya alami, ketika
mendengar potongan kalimat itu. Secara pribadi, degup jantung sempat menguat
dan mengeras, mendengar sergahan dari hakim tersebut. Hal itu, bukan saja
karena dia memotong pembicaraanku, namun karena perintah itu berulang-ulang
dikemukakannya.
”jangan
menilai...jangan beropini...jangan ! ungkapkan
saja faktanya..” itulah patahan kata yang hakim minta, dan harus dilakukan oleh
seorang saksi.
Masalah
yang kini menggelayut dalam pikiran–sempat pula terfikir ketika masih ada di
kursi pesakitan itu, yakni ”mengapa saya tidak boleh memberikan
penilaian..?” mengapa seorang saksi
tidak boleh memberikan penilaian ? dan siapa yang berhak memberikan penilaian
? jaksakah, hakimkah, pengacarakah, atau
siapa ? mengapa hal ini terjadi di tengah-tengah lembaga yang katanya, bahwa
setiap manusia memiliki posisi yang sama di depan hukum ? padahal, bila saya
berfikir tentang statusku duduk di kursi itu, sudah jelas berbeda dengan
siapapun yang hadir di ruangan itu. Saya sekedar berposisi sebagai saksi. Bukan
yang lain.
Saya jadi
ingat, Gunnar Myrdal (1982) memang pernah memberikan penekanan mengenai adanya
perbedaan antara penilaian dengan kebutuhan pengembangan ilmu, begitu pula
dengan keyakinan dan budaya ilmiah. Cornelius Antonio van Peursen (1990) pun
sempat memberi uraian mengenai perbedaan antara fakta, nilai dan peristiwa. Para
pemikir itu, dengan jelas memberikan analisis mengenai adanya perbedaan antara
fakta dan penilaian. Secara sederhananya, seolah ada keinginan (hasrat
manusia) untuk menjelaskan bahwa fakta
itu bersifat netral, sedangkan penilaian sudah ada keterlibatan subjektivitas
si pelaku.
Namun,
haruskah seseorang dipisahkan dari hasratnya untuk memberikan penilaian ? Mungkin
seseorang dijauhkan dari hasrat menilai ? inilah pertanyaan dasar yang ingin
dikemukakan dalam wacana ini. mengapa hal ini penting, jelas sudah karena saya
berkeyakinan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari penilaian, dan ilmu pun
tidak boleh menjauhi nilai. Objektivitas penting, namun bukan berarti bahwa
harus hampa nilai. Karena sesungguhnya, kebermaknaan sebuah peristiwa atau
sebuah fakta, justru karena ada nilainya.
Terhadap
kejadian ini, saya menemukan ada beberapa hal yang bisa jadi akan menjadi
bagian penting dalam masalah hukum di negeri kita. Pertama, hukum di Indonesia
tidak memiliki makna yang tepat. Karena, saksi atau malah si pelaku dicabut
dari posisinya untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa (fakta). Kedua,
ketika nilai dicabut dari peristiwa, maka kita akan kehilangan makna. Bisa
jadi, kasus Mpo Minah yang mengambil kakao 3 butir itu sesungguhnya akan dengan
mudah mendapat keadilan dan pengadilan yang manusiawi jika hukum di Indonesia
mengandung nilai. Orang mengambil barang, karena unsur kelaparan, sejatinya
tidak boleh disamakan dengan mengambil kekayaan negara karena unsur kewenangan
yang dimilikinya. Yang pertama (Mpo Minah, adalah penyelamatan hidup),
sedangkan kasus kedua adalah penyelewengan kekuasaan demi penyelamatan
keserakahannya.
Hukum
tanpa keadilan bisa lahir dari proses pencabutan makna atau nilai dari sebuah
pristiwa. Sehingga proses pengadilan kita, penegakan hukum di negeri kita,
kurang (untuk tidak menyebut kata ”tidak”) pernah mempertimbangkan aspek nilai,
aspek budaya atau konteks terjadinya sebuah peristiwa. Padahal saksi itulah,
yang merasakan nilai sebuah peristiwa atau makna sebuah peristiwa, dan bukan
orang lain.
Pada
konteks itu jugalah, saya menemukan satu kesimpulan bahwa bila seorang saksi
tidak diizinkan memberikan penilaian, hal ini
menggambarkan bahwa setiap orang tidak memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum. Hakim dan Jaksa diberi kewenangan untuk menafsirkan peristiwa atau
fakta, dengan merujuk hukum, sementara saksi tidak diberi kesempatan untuk
memaknai peristiwa sesuai dengan konteks yang teralaminya.
0 comments:
Posting Komentar