Menggelikan tapi juga mengherankan. Sebuah negara yang menyebut diri sebagai salah satu negara modern di wilayah Asia Tenggara, aparatur kerajaan menunjukkan sikap-sikap yang kurang profesional dalam menangani warga negara asing. Penyanderaan selama 2 jam, terhadap seorang istri KBRI di Malaysia kali ini kian menggenapkan citra Malaysia sebagai sebuah negara yang kurang profesional dalam penertiban warga negara asing di negaranya.
Kejadian yang belum kering dari ingatan yakni pemukulan terhadap Wasit Karate yaitu Donald Pieter Luther oleh empat polisi
Malaysia. Efek dari masalah ini pun masih menyimpan luka yang dalam bagi jiwa (sebagian)
masyarakat Indonesia. Dan kali ini, penyanderaan istri KBRI di Malaysia ini
dilakukan oleh Pasukan Rela (seperti Ratih – rakyat terlatih di Indonesia).
Sesungguhnya apa yang sedang terjadi pada perilaku aparatur keamanaan di negara Malaysia ini ? atau lebih jauh lagi, ada apa dengan Malaysia ?
Bagi bangsa Indonesia kejadian seperti ini merupakan peringatan dini mengenai harkat dan
martabat negara dihadapan ‘rakyat’ dan bangsa lain. Lebih khusus lagi, kejadian
seperti ini merupakan satu teguran sekaligus
peringatan keras terhadap gaya pemerintahan dan kekuasaan negara.
Di akui atau tidak, setuju atau pun tidak, kejadian
yang berulang terhadap rakyat Indonesia di negara lain merupakan satu bentuk
tantangan yang harus ditunjukkan dengan kemampuan, kekuasaan, dan kedaulatan
negara di mata negara yang bermasalah. Bila pemerintah tidak mampu memberikan
perlindungan terhadap rakyatnya di negara lain, maka negara itu akan
dipersepsikan sebagai negara nominalis.
Dari sudut pandang sosiologi, negara bisa
dikategorikan sebagai sebuah negara nominalis manakala lembaga ini lebih
berfungsi sebagai simbol dan tidak memiliki kemampuan serta kekuasaan untuk
memberikan perlindungan kepada rakyat. Akhir dari kondisi ini, bukan hal yang
mustahil akan melahirkan bentuk kekecewaan rakyat pada negara atau kekecewaan rakyat
terhadap pemerintah yang tengah berkuasa saat itu.
Bagi masyarakat Indonesia mungkin terlalu muluk
untuk berharap Pemerintahnya dapat memberikan perlindungan yang nyata bagi rakyatnya.
Karena kadang-kadang, jangankan rakyat Indonesia yang ada di luar negeri, bagi
rakyat yang ada dalam negeri pun masih dilupiti rasa mencekam. Sementara itu pemerintah
tidak memiliki kemampua apa-apa dalam menghadapi kenyataan seperti ini.
Sekali lagi, mungkin benar Pemerintah telah
melakukan tindakan-tindakan diplomatik terhadap negara tetangga atau negara
lain dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antar dua negara
tersebut. Namun demikian hal yang paling penting bagi masyarakat Indonesia saat
ini, yaitu diplomasi yang makna.
Pernyataan sikap atau komunikasi diplomasi adalah
satu model dari komunikasi internasional yang banyak dilakukan oleh pemerintah. Dalam
konteks ini, kedua model tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak
strategi dalam membangun komunikasi internacional dalam jaringan interaksi
global.
Sebagai sebuah catatan, diplomasi yang patut
dilakukan itu adalah diplomasi yang bermakna. Dalam kaitan dengan ini, pemerintah Indonesia
saat ini perlu menunjukkan upaya-upaya dan tindakan-tindakan politis yang mampu
mendorong sikap diplomatiknya menjadi sebuah diplomasi yang bermakna.
Tanpa ada kemampuan menunjukkan diplomasi yang
bermakna, penulis khawatir upaya tersebut hanya akan melahirkan ‘gonggongan
anjing semata’ sementara itu kafilahnya tetap berlaku. Seiring dengan hal ini,
ada beberapa indikasi social yang dapat dijadikan sebagai bentuk diplomasi yang
bermakna.
Pertama, diplomasi dapat dikategorikan bermakan jika memberikan efek positif bagi masa depan rakyatnya sendiri. Sebanyak
apapun loby yang dilakukan, sebanyak apapun pernyataan sikap yang dikemukakan
akan menjadi satu model diplomasi yang tidak bermakna bila tidak memberikan
efek yang bermanfaat, efek ketenangan, dan kenyamanan bagi masyarakat di hari
esok.
Kedua, diplomasi
dikatakan bermakna manakala mampu memberikan pengaruh terhadap kebijakan
internal negara yang bersangkutan. Ketika perwakilan PBB datang ke Myanmar,
namun kemudian mereka tidak mampu melalukan loby dengan pemerintahan Junta
Militer Myanmar sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai lbi yang kurang
bermakna, atau istilah lain yaitu ada kegagalan dalam misi kunjungan ke
Myanmar. Alasannya sederhana, yaitu
tidak ada perubahan sikap pada penguasa di negara Myanmar.
Hal serupa dapat terjadi pada negara Indonesia.
Pernyataan sikap atau diplomasi pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan
Malaysia dapat dikategorikan tidak bermakna bila tidak mampu memberikan
pencerahan kebijakan terhadap pemerintah negara Malaysia.
Untuk sekedar contoh. Dalam persepsi penulis, dua
kejadian di atas, merupakan bentuk nyata
profesionalisme Pasukan Rela atau kinerja Polisi Kerajaan Malaysia masih sangat
buruk. Aparatur keamanan ini tidak memiliki kedisiplinan, kecermatan, dan
penghargaan terhadap hak asasi manusia di luar warganya sendiri. Siapapun yang
melakukannya, namun yang objektif adalah kejadian seperti ini menunjukkan
lemahnya pembinaan Pemerintah Kerajaan Malaysia terhadap aparatur negaranya.
Kekeliruan terbesar lainnya, yang tampaknya
dimiliki oleh aparatur keamanan Kerajaan Malaysia yaitu sikap menggeneralisir atau
stereotypisasi warga negara asing (khususnya Indonesia) sebagai imigran
illegal. Generalisasi inilah yang kemudian potencial mendorong para Pasukan
Rela untuk bersikap kasar terhadap siapapun yang ‘kelihatan’ sebagai warga
negara Indonesia.
Dalam satu sisi mungkin tepat, bila kejadian ini pun sebagai buah dari
sikap tidak disiplin warga Indonesia atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia
dalam mengirimkan tenaga kerja ke Malaysia. Tetapi kesalahan seperti ini akan dapat
diminimalisir bila (a) Pemerintah Kerajaan Malaysia dapat menertibkan
perusahaan-perusahaan dalam negerinya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing,
sehingga mereka tidak menerima tenaga kerja ilegal, (b) aparatur pemerintah
yang beradab memiliki kewajiban untuk menghargai hak dan martabat manusia
–siapapun orangnya, kendatipun dia termasuk orang yang ilegal. Dengan
dua solusi ini, sesunggunya kejadian-kejadian seperti yang terjadi selama ini
dapat dihindarkan.
Bila pemerintah Indonesia dapat
melakukan dan menunjukkan kemampuannya dalam mempengaruhi pola penataan
aparatur keamanan kerajaan Malaysia tersebut, dapat dikatakan bahwa diplomasi
Pemerintah Indonesia disebut bermakna.
Ketiga, negara
yang memiliki kemampuan diplomasi dan kedaulatan di negara lain dapat
ditunjukkan dengan kemampuannya memberikan sanksi yang menjerakan bagi negara
pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Tanpa harus konfrontatif dengan Malaysia, kecuali bila negara pelanggar hak
warga negara asing itu tetap membandel, maka Pemerintah Indonesia tentunya
dapat menunjukkan sikap-sikap tegas terhadap negara asing tersebut.
Dalam skala global, kesalahan global dan pelanggaran hak asasi manusia,
kadang dapat digunakan sebagai komoditas politik internasional. Lebih
spesifiknya lagi, masalah-masalah tersebut dapat dijadikan sebagai objek rekayasa
politik negara asing terhadap negara pelaku kesalahan global.
Penulis tidak yakin, Pemerintah Indonesia dapat melakukan hal seperti ini.
Karena, dilihat dari kondisi apapun, negara Malaysia masih memiliki power yang
lebih dibandingkan Indonesia (baca : Pemerintah Indonesia). Akibat dari keadaan
seperti ini, melihat dan merasakan kebijakan yang ganjil dari kerajaan
Malaysia, bangsa Indonesia yang merasakan malaise belaka.
Rakyat Indonesia menggigil. Demam. Sakit hati. Namun tak kuasa untuk melakukan pembelaan. Indonesia
malaise karena ulah Malaysia. Mungkinkah akan terus begini ?
* tulisan ini, pernah dimuat di harian Umum Jurnal Nasional, 19 November 2007.
0 comments:
Posting Komentar