Alkisah seorang guru tengah bertanya kepada anak didik yang ada di ruang kelasnya, “Kenapa Patimura tertangkap?” kemudian di jawab oleh seorang siswa, “takdir, pak”.
Dari sudut pandang kasat mata, penonton hanya melihat kasus mengenai hilangnya suara ketika berbicara. Dengan demikian, produk komersial sebagaimana diiklankan TV swasta tersebut diharapkan dapat dijadikan pilihan untuk menyelesaikan masalah kesegaran tenggorokan atau volume suara. Inilah pesan pragmatis dari iklan mengenai permen atau makanan tambahan (suplemen).
Namun dibalik kasus tersebut tersirat satu “drama teologi” yang sangat mendasar dan perlu mendapat perhatian dari kalangan pendidikan, khusus ahli agama. Karena sesungguhnya, apa yang dituturkan siswa tersebut merupakan satu bentuk ekspresi mental dan kognisi dirinya mengenai realitas. Bahkan bisa jadi, reaksi sosial tersebut terbawa dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Lebih luas lagi, pertanyaan guru tersebut dapat dikemas dalam bentuk dan
jenis pertanyaan lain yang serupa dan potensial di respon dengan jawaban yang
serupa, misalnya, “kenapa di Indonesia sering terjadi gempa, kenapa Aceh
dihempas tsunami, kenapa pangandaran diterjang tsunami, dan kenapa Kota Bandung
diliputi lautan sampah”. Jangan-jangan
siswa yang ada di kelas elektronik (atau dapat disebut sebagai kelas maya)
tersebut akan mengeluarkan jawaban yang sama, yaitu “takdir”.
Kendati dalam suasana lelucon, kejadian serupa sempat dialami dalam ruang
kelas. Dalam konteks pengalaman pribadi, sempat diajukan pertanyaan terkait
dengan penyebab terjadinya gempa di daerah Jogya dan Pangandaran ? tanpa
diduga, anak-anak yang ada di ruang kelas menjawabnya dengan kalimat yang
sangat sederhana, yaitu “takdir”.
Tanpa merasa terburu-buru, dengan merujuk pengalaman serta refleksi diri
terhadap fenomena yang ada saat ini, hipotesis terhadap wacana yang ada dalam
iklan tersebut yaitu tidak hanya sebuah iklan komersial bagi sebuah produk,
melainkan mengandung gaya bahasa sindiran yang sangat kuat dan strategis
terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia saat ini. Dalam istilah
kita, iklan tersebut merupakan salah
satu contoh drama teologis mengenai perilaku keberagamaan masyarakat Indonesia.
Dalam perspektif Weber, jawaban si Anak dalam drama teologi tersebut dapat
disebut tindakan rasional orientasi nilai (Johnson, 1986:221, Giddens,
1986:187). Termasuk dalam hal ini, yaitu perilaku budaya dalam menghadapi
bencana dan perilaku agama masyarakat Indonesia yang melakukan istighosah (doa bersama) untuk
menghindari bencana alam di Indonesia.
Seiring dengan pandangan Weber, tindakan tersebut disebut sebagai tindakan rasional
berorientasi nilai.
Bagi masyarakat Agama, jawaban
”takdir” merupakan puncak dari kesadaran dan ketaatan diri pada disiplin hidup
yang mengakui adanya hukum Tuhan. Berdoa atau melakukan ritual keagamaan dengan
tujuan menghindarkan diri dari bencana atau musibah pun merupakan bentuk
kesadaran dan ketaatan diri. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa perilaku
seperti ini merupakan bagian dari bentuk rasional berorientasi nilai.
Namun demikian, sikap seperti ini tidak cukup dan tidak optimal dalam
menjawab permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Artinya, perlu ada upaya
transformasi penalaran dari orientasi nilai ke tindakan rasional instrumental.
Berbagai hal terjadi saat ini, baik dalam bentuk krisis moral, krisis
finansial, wabah penyakit, banjir dan lain sebagainya adalah fenomena alam yang
harus direspon secara proporsional dan menyeluruh. Ekspresi teologis diharap seiring senada
dengan reaksi teknologis.
Bila dikaitkan dengan perilaku agama dan perilaku budaya, serta drama
teologi dalam kelas vistual tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat
Indonesia ternyata masih miskin dalam mengembangkan tindakan rasional
intrumental. Sehingga makna sabar, soleh, doa, dan takdir lebih banyak ditunjukkan
dalam bentuk tindakan orientasi nilai dibandingkan instrumen dalam memecahkan
masalah hidup.
Dalam menutup wacana ini, penulis tertarik pada paparan yang dikemukakan
Rosaline Glickman (2002) dalam bukunya Optimal
Thinking : How To Be Your Best Self yang membedakan antara positive
thinking dan optimal thinking. Menurut Glickman, orang yang senantisa
berharap akan terjadi sesuatu hal yang positif, tanpa melakukan usaha maksimal
merupakan bentuk dari pola pikir positif thinking. Orang yang positive thinking senantiasa berusaha untuk menemukan makna
positif dibalik berbagai kejadian atau peristiwa. Dalam istilah lain, mungkin
itulah yang disebut dengan rasionalisasi, yaitu satu usaha untuk menemukan
hikmah, pelajaran dan jawaban dari sebuah peristiwa.
Sedangkan mereka yang berfikir optimal, yaitu berharap akan terjadi sesuatu
hal yang terbaik dari peluang baik yang akan terjadi. Dan capaian tersebut,
dapat diwujudkan yaitu dengan mengembangkan pola pikir positif yang didukung
dengan kemampuan waspada, antisipasi,
ikhtiar nyata dalam mencapai tujuan tersebut.
Untuk sekedar ilustrasi, dapat disebutkan bahwa orang yang berpandangan
bahwa ”musibah yang terjadi selama ini, merupakan satu bentuk teguran Tuhan
kepada diri, bangsa dan negara”, merupakan
bentuk sikap positive thinking. Selanjutnya sikap ini ditunjukkan dengan cara
mengajak orang lain untuk berdoa, bertaubat atau melakukan ritual keagamaan
sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.
Sementara bagi mereka yang mengembangkan optimal thinking, maka doa, taubat dan
ibadah diposisikan sebagai sesuatu hal yang positif, namun penalaran dan
ikhtiarnya harus tetap berkembang dan terus berusaha untuk mencari solusi
praktis/strategis dalam menghindari bencana alam. Berbagai teknik antisipasi
dan atau strategi harus dikembangkan sebagai upaya untuk terhindar dari bencana
yang mungkin akan datang kembali.
Pada konteks optimal thinking, berdoa itu penting tetapi mencari cara,
strategi dan instrumental praktis terhindar dari bencana juga adalah penting.
Sehingga ikhtiar seseorang dalam merespon bencana atau musibah ini dapat
berkembang secara optimal. Sebagai simpulannya, positif thinking ini dapat
disebut sebagai teologi positif dan optimal thinking kita sebuat sebagai
teologi optimal (optimal theology).
Kebutuhan mengembangkan teologi optimal, sebagai upaya rasional, ilmiah dan
duniawi dalam menghadapi berbagai pertanyaan dunia. Sehingga kematian para pahlawan nasional di masa lalu, atau bencana alam yang
terjadi pada masa lalu itu, bukan hanya dipahami sebagai sebuah takdir,
melainkan karena adanya hukum alam atau
hukum sosial yang menyebabkan peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi. Lemahnya
nalar sains di lingkungan masyarakat agama, bisa jadi disebabkan karena
lemahnya kita dalam mengelola modal intelekstual spiritual masyarakat pada
tataran rasional instrumental ini. Sehingga mereka terbiasa untuk menjawab
berbagai persoalan hidup dengan jawaban sederhana, yakni ”takdir..”
0 comments:
Posting Komentar