Just another free Blogger theme

Kamis, 10 November 2022

 Alkisah seorang guru tengah bertanya kepada anak didik yang ada di ruang kelasnya, “Kenapa Patimura tertangkap?”  kemudian di jawab oleh seorang siswa, “takdir, pak”.

Dari sudut pandang kasat mata, penonton hanya melihat kasus  mengenai hilangnya suara ketika berbicara. Dengan demikian, produk komersial sebagaimana diiklankan TV swasta tersebut diharapkan dapat dijadikan pilihan untuk menyelesaikan masalah kesegaran tenggorokan atau volume suara. Inilah pesan pragmatis dari iklan mengenai permen atau makanan tambahan (suplemen).


Namun dibalik kasus tersebut tersirat satu “drama teologi” yang sangat mendasar dan perlu mendapat perhatian dari kalangan pendidikan, khusus ahli agama. Karena sesungguhnya, apa yang dituturkan siswa tersebut merupakan satu bentuk ekspresi mental dan kognisi dirinya  mengenai realitas. Bahkan bisa jadi,  reaksi sosial tersebut terbawa dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Lebih luas lagi, pertanyaan guru tersebut dapat dikemas dalam bentuk dan jenis pertanyaan lain yang serupa dan potensial di respon dengan jawaban yang serupa, misalnya, “kenapa di Indonesia sering terjadi gempa, kenapa Aceh dihempas tsunami, kenapa pangandaran diterjang tsunami, dan kenapa Kota Bandung diliputi lautan sampah”.  Jangan-jangan siswa yang ada di kelas elektronik (atau dapat disebut sebagai kelas maya) tersebut akan mengeluarkan jawaban yang sama, yaitu “takdir”.

Kendati dalam suasana lelucon, kejadian serupa sempat dialami dalam ruang kelas. Dalam konteks pengalaman pribadi, sempat diajukan pertanyaan terkait dengan penyebab terjadinya gempa di daerah Jogya dan Pangandaran ? tanpa diduga, anak-anak yang ada di ruang kelas menjawabnya dengan kalimat yang sangat sederhana, yaitu “takdir”.

Tanpa merasa terburu-buru, dengan merujuk pengalaman serta refleksi diri terhadap fenomena yang ada saat ini, hipotesis terhadap wacana yang ada dalam iklan tersebut yaitu tidak hanya sebuah iklan komersial bagi sebuah produk, melainkan mengandung gaya bahasa sindiran yang sangat kuat dan strategis terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia saat ini. Dalam istilah kita,  iklan tersebut merupakan salah satu contoh drama teologis mengenai perilaku keberagamaan masyarakat Indonesia.

Dalam perspektif Weber, jawaban si Anak dalam drama teologi tersebut dapat disebut tindakan rasional orientasi nilai (Johnson, 1986:221, Giddens, 1986:187). Termasuk dalam hal ini, yaitu perilaku budaya dalam menghadapi bencana dan perilaku agama masyarakat Indonesia yang melakukan istighosah (doa bersama) untuk menghindari bencana alam di Indonesia.  Seiring dengan pandangan Weber, tindakan tersebut  disebut sebagai tindakan rasional berorientasi nilai.

Bagi  masyarakat Agama, jawaban ”takdir” merupakan puncak dari kesadaran dan ketaatan diri pada disiplin hidup yang mengakui adanya hukum Tuhan. Berdoa atau melakukan ritual keagamaan dengan tujuan menghindarkan diri dari bencana atau musibah pun merupakan bentuk kesadaran dan ketaatan diri. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa perilaku seperti ini merupakan bagian dari bentuk rasional berorientasi nilai.

Namun demikian, sikap seperti ini tidak cukup dan tidak optimal dalam menjawab permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Artinya, perlu ada upaya transformasi penalaran dari orientasi nilai ke tindakan rasional instrumental. Berbagai hal terjadi saat ini, baik dalam bentuk krisis moral, krisis finansial, wabah penyakit, banjir dan lain sebagainya adalah fenomena alam yang harus direspon secara proporsional dan menyeluruh.  Ekspresi teologis diharap seiring senada dengan reaksi teknologis.

Bila dikaitkan dengan perilaku agama dan perilaku budaya, serta drama teologi dalam kelas vistual tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia ternyata masih miskin dalam mengembangkan tindakan rasional intrumental. Sehingga makna sabar, soleh, doa, dan takdir lebih banyak ditunjukkan dalam bentuk tindakan orientasi nilai dibandingkan instrumen dalam memecahkan masalah hidup.

Dalam menutup wacana ini, penulis tertarik pada paparan yang dikemukakan Rosaline Glickman (2002) dalam bukunya Optimal Thinking  : How To Be Your Best Self  yang membedakan antara  positive thinking dan optimal thinking.  Menurut Glickman, orang yang senantisa berharap akan terjadi sesuatu hal yang positif, tanpa melakukan usaha maksimal merupakan bentuk dari pola pikir positif thinking. Orang yang positive thinking  senantiasa berusaha untuk menemukan makna positif dibalik berbagai kejadian atau peristiwa. Dalam istilah lain, mungkin itulah yang disebut dengan rasionalisasi, yaitu satu usaha untuk menemukan hikmah, pelajaran dan jawaban dari sebuah peristiwa.

Sedangkan mereka yang berfikir optimal, yaitu berharap akan terjadi sesuatu hal yang terbaik dari peluang baik yang akan terjadi. Dan capaian tersebut, dapat diwujudkan yaitu dengan mengembangkan pola pikir positif yang didukung dengan kemampuan waspada, antisipasi,  ikhtiar nyata dalam mencapai tujuan tersebut.

Untuk sekedar ilustrasi, dapat disebutkan bahwa orang yang berpandangan bahwa ”musibah yang terjadi selama ini, merupakan satu bentuk teguran Tuhan kepada diri, bangsa dan negara”,  merupakan bentuk sikap positive thinking. Selanjutnya sikap ini ditunjukkan dengan cara mengajak orang lain untuk berdoa, bertaubat atau melakukan ritual keagamaan sebagai bentuk  ibadah kepada Tuhan. Sementara bagi mereka yang mengembangkan optimal thinking, maka doa, taubat dan ibadah diposisikan sebagai sesuatu hal yang positif, namun penalaran dan ikhtiarnya harus tetap berkembang dan terus berusaha untuk mencari solusi praktis/strategis dalam menghindari bencana alam. Berbagai teknik antisipasi dan atau strategi harus dikembangkan sebagai upaya untuk terhindar dari bencana yang mungkin akan datang kembali.

Pada konteks optimal thinking, berdoa itu penting tetapi mencari cara, strategi dan instrumental praktis terhindar dari bencana juga adalah penting. Sehingga ikhtiar seseorang dalam merespon bencana atau musibah ini dapat berkembang secara optimal. Sebagai simpulannya, positif thinking ini dapat disebut sebagai teologi positif dan optimal thinking kita sebuat sebagai teologi optimal (optimal theology).

Kebutuhan mengembangkan teologi optimal, sebagai upaya rasional, ilmiah dan duniawi dalam menghadapi berbagai pertanyaan dunia.  Sehingga kematian para pahlawan  nasional di masa lalu, atau bencana alam yang terjadi pada masa lalu itu, bukan hanya dipahami sebagai sebuah takdir, melainkan karena adanya  hukum alam atau hukum sosial yang menyebabkan peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi. Lemahnya nalar sains di lingkungan masyarakat agama, bisa jadi disebabkan karena lemahnya kita dalam mengelola modal intelekstual spiritual masyarakat pada tataran rasional instrumental ini. Sehingga mereka terbiasa untuk menjawab berbagai persoalan hidup dengan jawaban sederhana, yakni  ”takdir..”

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar