Satu fenomena yang muncul, dan menjadi bagian dari kehidupan kita di era google ini, yakni hilangnya pemilik tunggal penafsir agama. Setidaknya, itulah yang secara empiris, dirasakan oleh masyarakat digital saat ini. Setiap kelompok, dan bahkan setiap orang, memiliki rasa sebagai pemegang 'kedaulatan" untuk menafsirkan agama. Bahkan, kerap kali, seseorang yang dianggap memiliki kredibilitas dan otoritas penafsir agama pun, kemudian, menjadi objek-kajian (untuk menyebut objek buli) oleh kalangan netizen.
Masih ingat dalam benak kita, kasus Eko Kuntadhi, yang "ngebuli" ustadzah dari kalangan Nahdhatul Ulama. Buntut dari hinaan itu, selain memancing dukungan dari kelompoknya, juga memancing reaksi dari pendukung Ustadzah Ning Imaz. Kasus pembulian kepada pemilik ootirtas penafsir agama ini, bukan hany sekali, dan juga bukan hanya kepada Ning Imaz saja. Sejumlah tokoh yang dikagumi oleh kelompok tertentu, dijadikan sasarana buli dan 'hinaan" dari kelompok lainnya.
Pertanyaan kita hari ini, apakah kondisi ini, merupakan gambaran awal dari desakralisasi pemiliki otoritas agama, atau menurunnya penghargaan masyarakat terhadap intelektualitas agama ? apakah masyarakat kita, lebih mengagungkan pemilik akun medsos, dibandingkan pemilik keilmuan keagamaan ?
Ini persoalan kita, dan akan menjadi trend kehidupan kita hari ini ke depan. Google atau dunia digital, secara tidak langsung berperan, terhadap pembuncahan citra elit agama dihadapan warga netizen. Kasus pidana yang melilit sejumlah tokoh agama, dijadikan dalil menurunkan citra tokoh agama, dan keberpihana elit agama terhadap politik, menjadi sasaran empuk oleh kelompok lawan politiknya.
Gejala diversifikasi pemegang otoritas agama ini, satu diantaranya, karena google dan juga referensi digital yang terbuka, menjadi alternatif sumber informasi dan bacaan pencari informasi keagamaan. Dalam konteks hari ini, kita dapat belajar, apapun, dimanapun dari berbagai sumber manapun. Bahkan, manakala kita mendapatkan satu informasi yang "kontroversial", kita akan bisa memiliki kesempatan untuk mencari informasi yang lainnya.
Hanya saja, sampai posisi ini, kita akan ingat kembali sebutan dari Kuntowidjoyo, yakni ada fenomena Muslim Tanpa Masjid. Makna umumnya, yakni munculnya sikap keberagamaan yang berasal bukan dari sumber belajar keagamaan atau otoritas agama, melainkan dari internet. Dengan kata lain, istilah Muslim Tanpa Masjid, bisa juga Nasrani Tanpa Gereja, atau Hindu tanpa Pure dan lain sebagainya. Umat beragama, besar dan dibesarkan oleh otoritas Google bukan lagi oleh Gereja !
0 comments:
Posting Komentar