Sebenarnya, sudah lama buku ini dimiliki, atau
lebih tepatnya, sewaktu kuliah –tahun 1990-an, sudah pernah membaca buku ini.
Buku berjudul, Tiada Mawar Tanpa Duri : Psikologi Baru, Tentang Cinta,
Nilai tradisional dan Pertumbuhan Spiritual, karya
M.Scott Peck.[1] Bila tidak salah ingat, motivasi waktu itu,
bukan pada aspek cinta, melainkan pada konsep pertumbuhan spiritualnya.Maklum, saat itu, sedang muncul gairah belajar agama.
Lahir sebagai orang kampung. Pemahaman agama pas-pasan. Karena itu, mencari referensi ilmiah tentang agama menjadi impian besar waktu itu. Referensinya pun, sudah tentu adalah yang terjamahan sesuai kemampuan nalar, waktu, dan ekonomi. Salah satu diantaranya ya, membaca buku di perpustakaan kampus IKIP Bandung (UPI) saat itu.
Perasaan, selain memanfaatkan rujukan ilmiah
lainnya (tentang psikiater atau posikologi), pengarang memanfaatkan sumber rujukan dari luar
‘nilai budaya penulisnya’ sendiri. Untuk merumuskan dan memaparkan pandangannya
mengenai cinta, nilai tradisional atau perkembangan dan pertumbuhan spiritual,
Scott Peck pun memanfaatkan pandangan dari Kahlil Gibran (sastrawan) dan Idris Syah (mistisism
Islam) yang menulis buku Jalan Sufi . Perasaan karena alasan itulah, yang mendorong
niatan kuat membaca buku tersebut.
Beberapa jam lalu, saat berselancar di dunia maya mencari referensi mengenai tip dan trik berkeluarga, dan atau membangun keluarga yang baik, dihadapkan pada sebuah file dengan judul buku The Road Less Traveled : A New Psychology Of Love, Traditional Values And Spiritual Growth, dengan pengarang yang sama. Pada mulanya aneh. Judul mirip, dan nama pengarang sama. Diunggahlah buku itu, dan kemudian dibuka halaman daftar isi. Ternyata emang sama.
Kendati seorang
psikiater, rujukan pertama dan pengakuan pertama, Scott Peck sampaikan dengan
menyampaikan satu dari empat kebenaran menurut ajaran Budha. Hidup ini sulit (life
is difficult). Kendati demikian, tetap harus dipelajari dan dijalani. Karena,
menurut pandangannya, bila kita sudah mempelajari, mendekatinya, dan
menjalaninya, maka perjalanan hidup sebagai sesuatu yang suylit bukan lagi
masalah. Bisa jadi, karena alasan itulah, dalam terjemahan bahasa Indonesia
buku ini, dijuduli tiada mawar tanpa duri.
Kendati demikian, perlu kiranya menjelaskan tentang makna “Tiada Mawar Tanpa Duri”. Dengan maksud supaya, kita dapat menikmati perjalanan ini. Pertama, duri dalam mawar adalah pengindah eksistensi (keberadaan ) mawar itu sendiri. Tiada indah ditatapnya, bila tiada duri itu. Begitu pula dengan kehidupan, kesulitan itu adalah bumbu agresifisme dan dinamisme hidup manusia di muka bumi.
Pada sisi lain, duri dalam mawar adalah ciri. Siapapun
untuk memiliki dan menikmatinya, membutuhkan perjuangan. Tidak bisa kita meraih
mawar, bila menjadi orang yang penakut. Takut akan duri. Hanya mereka yang
tidak takut menghadapi resiko, yang akan bisa memiliki bunga mawar nan indah.
Hidup ini sulit, dan membutuhkan perjuangan untuk meraihnya.
Dalam logika Budha, empat kebenaran itu, harus dipahami secara simultan. Pertama, hidup ini adalah penderitaan atau dukha. Dukkha Ariya Sacca. Ada banyak dukha (derita) dalam kehidupan manusia, yaitu lahir, sakit, mati, terpisah dengan kekasih, dan tidak mencapai yang diinginkan, bersatu dengan yang tidak diinginkan. Tetapi, dalam pemahaman Budhis pun, bahwa setiap dukha ada penyebabnya (Dukkha Samudaya Ariya Sacca). Untuk memadamkannya, adalah menghentikan nafsu (Dukkha Nirodha Ariya Sacca). Setelah itu, harus menempuh jalan yang bisa meninggalkan dukha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca).
Pandangan Budhis ini,
setidaknya memberikan pencerahan kepada kita, bahwa dibutuhkan adanya
keseriusan dalam menikmati duri dalam hidup, sehingga hidup ini dapat berwibawa
dan nikmat dirasakannya !
Manusia ini, kadang lebih banyak disibukkan dengan upaya menghapus duri dari mawar. Padahal, duri itu adalah bagian dari mawar. Jangan sibukkan untuk menghapus ragam dukha dalam hidup, karena dukha itu adalah bagian utama dari kehidupan. Kita lebih sering memikirkan mengenai aneka masalah dalam hidup, padahal yang dibutuhkan itu adalah mengelola masalah, untuk mengantarkan kita pada tujuan hidup dan kenikmatan hidup.
Baru sadar, selepas membaca
buku ini, setidaknya saya hanya merasakan bahwa hal utama dalam hidup ini adalah
bagaimana caranya memanfaatkan dukha sebagai penguat semangat, peneguh usaha, pemanis
perjalanan serta pendorong kuat bagi kita untuk terus berusaha keras dalam
mewujudkan impian hidup, yaitu menikmati keindahan mawar .
[1] M. Scott
Peck. 1987. Tiada Mawar Tanpa Duri : Psikologi
Baru, Tentang Cinta, Nilai tradisional dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta : Erlangga. 1987. Alihbahasa oleh
Firmus Kudadiri dan Andre Karo-karo.
(2) M. Scott Peck. 1978. The Road Less Traveled : A New Psychology Of Love, Traditional Values And Spiritual Growth. New York : A Touchstone Book, published by Simon & Schuster.
(2) M. Scott Peck. 1978. The Road Less Traveled : A New Psychology Of Love, Traditional Values And Spiritual Growth. New York : A Touchstone Book, published by Simon & Schuster.
0 comments:
Posting Komentar