Istilah ijon, ada dalam tradisi transaksi ekonomi tradisional. Di kampung-kampung kita, kerap mendengar istilah ijon. Istilah ini, biasa digunakan untuk praktek penjualan produk pertanian, sebelum objek penjualan siap jual. Misalnya, menjual mangga satu atau beberapa pohon mangga. Seorang calon pembeli menaksir pohon mangga, yang masih bunga, dengan taksiran harga yang dia sanggup. Kemudian, si penjual akan menerima uang, sesuai kesepakatannya. Si penjual tetap memiliki kewajiban merawat pohon itu. Namun resiko akhir dari kondisi pohon mangga, akan tetap menjadi tanggungan si pembeli.
Resiko yang bakalan terjadi, dalam praktek ijon itu, bisa menguntungkan, dan bisa merugikan. Bila kedapatan buahnya lebat, akan menguntungkan pembeli, dan merugikan penjual. Sedangkan, bila ada musibah, atau gagal berbuah, maka si penjual untung, dan merugilah bagi si pembeli. Maka karena itu, praktek jual beli dengan sistem ijon, tidak diperkenankan oleh ajaran Islam, karena mengandung gharar (perjudian).
Lantas, bagaimana yang dimaksud dengan ijon proyek?
Bila menelaah kasus Ade Koswara dari Bupati Bekasi, ijon proyek pun, tak jauh dari tradisi transaksi ekonomi tradisional itu. Prakteknya pun, sederhana. Tak jauh dari apa yang dilakukan masyarakat agrarus kita. Prinsip dasarnya, ada dua pihak yang melakukan transaksi-ekonomi, dan kemudian dilakukannya dengan cara ijon.
Sepanjang pemantauan kita, melalui media massa, ada dua pihak terkait. orang ketiga, lebih berperan sebagai makelar. Kedua pihak itu, yakni pembeli projek dan penjual projek. Penjual atau pemilik proyek adalah penguasa. Dalam konteks itu, siapa saja yang dianggap berkuasa, bisa seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau kementerian. Kemudian pembeli proyeknya adalah pemilik modal, pengusaha, atau siapapun yang merasa diri berkepentingan dengan proyek tersebut.
Kembali meminjam kasus Bekasi. Sarjan, sebagai pihak swasta, 'membeli' proyek ke pemerintah (bupati). Makelar atau perantaranya adalah seorang Kepala Desa. Sedangkan penjual proyeknya, langsung dikendalikan Bupati. Begitulah skema dasar, dari praktek ijon proyek, sebagaimana yang terbaca di media sosial. Praktek itu disebut ijon, karena proyeknya itu sendiri, belum dijalankan, dan bahkan bisa pula dilakukan sebelum tender.
Nilai strategi praktek ini, (1) pembeli, tidak usah ragu dengan proses tender, (2) tender lebih bersifat formalitas, dan (3) kepastian didapatnya proyek itu, sesuai dengan transaksi informal saat melakukan melakukan ijon itu sendiri. Dengan demikian, praktek ini, dapat memberikan keyakinan pada si pembeli, dan keuntungan prematur kepada si penjual.
Bagaimana, kita, bisa melakukan pencegahan terhadap praktek ini ?
Mencermati kasus Bekasi ini, praktek ijon proyek, bisa dan hanya bisa dilakukan, manakala proses tender dilakukan tidak transparan. Perlu ada perumusan ulang model tender, yang bisa menghapus peluang transaksi ilegal, antara pemilik program dengan calon penjual. dengan kata lain, mungkin perlu ada mekansime pengawasan dan teknik tender proyek pemerintah secara independen, sehingga bisa menutup proses transaksi ilegal, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Selama ini, kerap kali kita mendengar, dan ini perlu diverifikasi, bahwa proyek-proyek pemerintah itu, kalau tidak didapat oleh mitra, keluarga, yang relawan sendiri. Bila demikian adanya, maka ijon proyek dan sistem tender akan sulit untuk dilaksanakan dengan baik !!
Bagaimana menurut pembaca ?

0 comments:
Posting Komentar