Just another free Blogger theme

Sabtu, 20 Desember 2025

Ada dua kejadian, yang perlu menjadi bahan renungan kita bersama. Kedua kejadian ini, terkait dengan kebaikan orang.  Pertama, disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) dari Fraksi Partai Gerindra, Endipat Wijaya, menyinggung donasi warga untuk korban bencana Sumatera yang viral meski angkanya lebih kecil dari bantuan pemerintah. Dia menilai seharusnya bantuan pemerintah yang besar juga diketahui oleh masyarakat.



Endipat juga menyindir relawan yang datang ke lokasi bencana dan kemudian viral. “Orang yang cuma datang sekali seolah-olah paling bekerja di Aceh, padahal negara sudah hadir dari awal. Ada yang baru datang, baru bikin satu posko, ngomong pemerintah enggak ada. Padahal pemerintah sudah bikin ratusan posko di sana,” ujar Endipat. Begitulah, pemberitaan yang disampaikan oleh sejumlah  media.

Kemudian, berita terbaru, disampaikan oleh pejabat negara. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Dalam salah satu podcast-annya, pejabat negara ini, mengatakan bahwa bantuan medis yang dikirim dari Malaysia senilai kurang Rp 1 miliar tidak seberapa dibandingkan dengan sumber daya penanggulangan bencana yang dilakukan Indonesia.

Tentunya, kedua pandangan itu, melahirkan kontroversi, atau mengundang tanggapan beragam dari sejumlah pihak. Seperti biasa, ada yang pro dan kontra. Bahkan, untuk k asus yang terakhir ini, mengundang reaksi dari pejabat Negara Jiran dan warganet di negeri tetangga itu. Mereka memprotes pernyataan sebagaimana yang terberitakan dalam media, dari pejabat negara ini. Alhamdulillah.  Setelah dikomentari oleh netizen, kedua pejabat negara itu, melakukan klarifikasi, dan juga minta maaf. 

Mengapa hal itu terjadi ? eh, mengapa mereka mengeluarkan pernyataan itu ? Pertanyaan ini menarik, setidaknya dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang masalah, sehingga kita bisa secara tepat memahami konteks dan permasalahannya.

Pertama, dari sudut media komunikasi, ada dugaan kesenjangan atau ketimpangan sikap dalam pemberitaan. Mereka (pejabat negara dan pemerintah) merasa 'dikucilkan' atau 'dikecilkan' oleh media. Media dianggap lebih memviralkan bantuan non-negara dibandingkan usaha dan ikhtiar pemerintah. Media massa, khususnya media digital, lebih memberitakan kontribusi masyarakat, daripada peran negara. Sehingga  peran negara, dianggap kecil, bahkan dianggap tidak (belum) hadir di tengah suasana bencana. 

Sikap serupa itu, tampak pula dalam pembandingan bantuan Asing dan peran Negara. Sebagaimana yang disampaikan Endipat atau Tito Karnavian, bantuan asing seakan-akan lebih diharapkan, dan beritanya dibesar-besarkan, sementara peran pemerintah tidak diberitakan dan tak terberitakan. Dampaknya, sentimen negatif terhadap negara, terasa lebih besar, padahal sudah melakukan banyak  hal, baik dari sisi finansial, maupun ikhtiar kebijakannya.

Kira-kira itulah, klarifikasi dari kedua pejabat negara ini.

Kita paham. Maka tidak mengherankan, bila kemudian, baik Endipat Wijaya maupun Tito Karnavian, berharap pemerbitaan atau pemublikasian narasi diharapkan seimbang, dan mau mengakui peran negara juga. Pemberitaan peran negara dalam memberikan bantuan ke masyarakat korban bencana, perlu diberitakan secara proporsional. Publik jangan menutup mata dan telinga, terhadap adanya peran-peran negara.

Tetapi, memang, pertanyaan dasar kita, belum menemukan jawaban yang rasional. Masalah pokok kita ini, adalah mengapa publik lebih membesarkan peran netizen atau bantuan asing, daripada peran elit negara atau peran negara ? mengapa pemberitaan seakan-akan tidak berimbang ?

Untuk menjawab masalah ini, perlu ada semacam pendalaman lebih lanjut, khususnya ke wilayah emosi publik. Kondisi batin publik, perlu didalami dengan maksud dan harapan bisa menemukan jawaban, mengapa publik skeptik terhadap peran negara atau elit  negara. Terkait hal inilah, maka setidaknya perlu dicermati dengan seksama, perilaku elit negara atau sikap pemerintah terkait bencana ini. 

Gejala yang sempat ramai dibicarakan publik, adalah adanya elit-negara yang cenderung pencitraan. Memikul sekantung beras ke wilayah bencana. Aroma pencitraan dirasakan lebih kuat oleh netizen, dibanding dengan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah bencana dan pembantuan terhadap warga korban bencana.

Sikap pemerintah yang enggan menerima bantuan dari negara asing. Dengan tegas, nyata dan popular, pernyataan pemerintah terkait dengan bantuan negara asing. sementara di lapangan, warga korban bencana, membutuhkan banyak hal, dan bukan sekedar pemberitaan atau makanan ringan belaka.

Pemerintah enggan menyatakan status bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Ada alasan yang dimilikinya. Tetapi, besarnya status dan tingginya korban bencana kali ini, dipandang publik layak ditetapkan sebagai bencana nasional, yang kemudian menuntun peran negara jauh lebih besar. Sayangnya, negara tidak berkenan untuk hal ini.

Kemudian, ada pernyataan dari pejabat negara, bahwa kayu-kayu yang bertebaran dalam bencana alam ini,  dianggap bukan dari penebangan hutan, namun sisa dari kayu reruntuhan belaka. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan kayu gelondongan yang terbawa banjir bukan sepenuhnya berasal dari pembalakan liar (illegal logging), tetapi dari pohon lapuk/tumbang alami, serta penebangan resmi di area izin. Sayangnya, publik menemukan ada sejumlah kayu yang terbawa hanyut dengan potongan yang siap angkut, dan bahkan bernomor seri. Di sinilah, kekecewaan publik terhadap pernyataan pejabat negara.  Walaupun, kemudian pada akhirnya, pihak Kemenhut mengakui bahwa ada dugaan modus pencucian kayu lewat izin palsu yang kini tengah diusut, terutama pasca-banjir di Sumatera, dengan penindakan tegas dan kebijakan moratorium sementara untuk mencegah praktik ilegal lebih lanjut.

Bila demikian adanya, mudah dipahami bila dialam bawah sadar publik, tersimpan memori, minimnya kepekaan pejabat negara terhadap derita publik. Derita dan masalah dilapangan, dianggap belum sampai pada level serius, dan membutuhkan kebijakan, bantuan, dan PERNYATAAN SIKAP yang empatik kepada rakyatnya sendiri.

Akibat dari kesadarannya itu, sulit bagi netizen untuk secara vulgar memberitakan kebaikan-kebaikan negara, bila kepekaan negara pun, terbatas. Hal yang ada, gairah mengkritisi dan memublikasi yang sangat kuat. Sementara dilain pihak, Pemerintah berharap --sebagaimana yang disampaikan Endipat Wijaya dan Tito Karnavian--- ada pemeritaan yang seimbang  terhadap apa yang sudah dilakukan Pemerintah.

Karena ada kesenjangan  itulah, muncul gejala, mahalnya ucapan terima kasih dari pejabat negara terhadap kebaikan orang lain, baik yang dilakuikan oleh rakyatnya sendiri, maupun oleh negara lain !

bagaimana pendapat pembaca ?


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar