Just another free Blogger theme

Selasa, 16 Desember 2025

Bagi seorang Geograf, konsep jarak itu penting. Jarak (distance) adalah ruang antara dua titik. Ruang antara dua titik ini, merupakan gejala keruangan, yang memiliki makna tersendiri, baik itu dalam pengertian kedekatan, keterjangkauan, atau keakraban. Semua hal itu, bisa ditafsirkan dalam konteks memahami hakikat jarak.



Ketidaktepatan kita dalam mengartikan dan memanfaatkan jarak, potensial melahirkan narasi keruangan yang beragam. Karena kesalahan mengartikan jarak, bisa menyebabkan distintegrasi sosial, dan karena sempurna memanfaatkan jarak mampu membangun kerukunan dan keharmonian. 

"Ya, Allah, kendati jarak rumahku jauh dari mesjid, semoga hatiku tetap dekat terhadapnya.."

"walau jauh dimata, tapi dekat di hati..."

"walau kita berbeda kota, namun dengan karena kuota..."

Itulah beberapa ekspresi sosial dan moral, yang terkait dengan masalah jarak. Karena ada insturmen teknologi atau instrumen sosial tertentu, maka kemudian makna jarak secara geografik (Spatial Distance), bisa mengandung makna yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

Pun demikian adanya, dengan konteks pergaulan sosial, di tengah kehidupan kita, baik di dunia pendidikan, kemasyarakatan, atau di lingkungan pekerjaan. Jarak geografi itu, tidak sereta merta mengandung  makna  yang sama, dengan jarak sosialnya.

Suatu kali, sempat ada seorang siswi yang curhat. Dia mencurhatkan, ada perlakuan dari temannya, yang dianggap kurang-menyenangkan. Temannya itu, lawan jenis, dan kerap ngajak bercanda dan bercengkrama, dengan posisi duduk berdampingan, dan kadang melepas gerak tangan menyasar fisik sang perempuan. Situasi ini, menurut sang siswi itu, merasa tidak nyaman, dan dia mengeluhkan kasus itu kepada gurunya. 

Sang guru pun, bertindak dengan mengingatkannya...!

Hal uniknya, saat sang guru itu ngajak berbincang dengan siswa itu, dia pun duduk berdampingan dengannya, tapi tidak melakukan gerak fisik  terhadap sang siswa tersebut. Tidak diduga, sang siswa berdialog dengan nyamannya. Tak seperti dengan teman lelakinya itu.

Mengapa ?

Bisa jadi, banyak jawaban terhadap gejala sosial itu. Namun ada beberapa point hal yang ingin disampaikan di sini.  Pertama, persepsi sosial yang ada dalam diri seseorang, akan mempengaruhi persepsi jarak sosial atau jarak hijab dalam dirinya. Satu kasus, jarak sosial itu, dianggap pelecehan dan pada kasus lain, dianggap sebagai bentuk kewajaran. Seseorang yang dipersepsikan sebagai orangtua, guru, orang terhormat, akan memiliki makna sosial yang berbeda dihadapan orang lain, dibanding dengan orang yang di luar itu. Karena ada status sosial itu, muncul secara implisit perlakuan privasi terhadapnya.

Kedua, setiap orang memiliki rasa dan emosi.  Aspek ini, akan menjadi pembeda dan sikap kritis terhadap point yang  pertama tadi. Artinya, kendati seseorang memiliki privasi sosial dihadapan seseorang (sebut saja misalnya seorang guru dihadapan siswanya), dimuati emosi atau rasa, maka akan berbuah penafsiran yang berbeda. Pola komunikasi dengan memaksimalkan bahasa verbal dan bahasa tubuh, yang dimuati emosi-syahwat,  akan melahirkan reaksi yang berbeda. Seorang siswa atau perempuan, akan dapat dengan mudah membedakan antara pola komunikasi yang dimuati emosi-syahwat dengan bahasa tubuh yang diselimuti keakraban. Atmosfera serupa ini, bagi kelompok tertentu atau orang tertentu, akan sangat mudah dirasakannya, dan bisa melahirkan penolakan dari kelompok orang  yang tidak nyaman dengan tindakannya tersebut. 

Akibatnya ? dengan kata lain, dampak dari perbedaan atmosfera pergaulan itu, akan melahirkan jarak hijab antara satu orang dengan orang lain, berbeda.

Ketiga, pola interaksi yang sudah terbangun dengan kepercayaan, akan hadir dan menguat lebih dekat, dibanding dengan pola interaksi-birokratik atau formalitas. Hubungan pertemanan atau persahabatan, akan jauh lebih cair, dibanding dengan karena ada hubungan formal di kedinasan. Pola interaksi antar keduanya, akan melahirkan jarak hijab yang berbeda. Orang yang terbiasa berbahasa formal, namun melakukan tindakan pengakraban, akan melahirkan penafsiran yang berbeda.

Terakhir,  dalam beberapa kasus ada 'pelacuran ruang'. Seorang pimpinan, menciptakan ruang-pribadinya dengan memanfaatkan kekuasaannya. Sedangkan karyawan atau bawahannya, terjebak oleh 'ruang kuasa' pimpinan, dengan membiarkan ruang-pribadi yang terganggu. Situasi inilah yang kemudian, menyebabkan adanya pelanggaran seksual, baik di keramaian atau di tempat formal. 


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar