Bagi sebuah negara sekular, tidak akan membedakan antara organisasi sakral dan organisasi profan. Sementara, untuk sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai dan norma agama, simbolisasi kesakralan dan Profanitas akan senantiasa hadir di benaknya. Disadari atau tidak, kesadaran ini, akan muncul dari alam bawah sadarnya. Lembaga ekonomi, olahraga, dapat lah disebut sebagai salah satu contoh lembaga profan atau duniawi, sedangkan lembaga keagamaan, masuk dalam kategori lembaga sakral atau suci.
Tentunya, pembedaan itu sendiri, tidak selamanya sama, dan bisa berbeda pendapat. Bergantung sudut pandang. Penulis akui dan sadari itu. Namun untuk memudahkan pemahaman sederhana saja, agama dan organisasi keagamaan, serta seluruh kegiatan keagamaan di dalamnya adalah kegiatan-kegiatan sakral.
Sayangnya, untuk konteks Indonesia, organisasi sakral ini menghadapi ujian yang sangat berat, dan sangat mengkhawatirkan. Dalam sebulan terakhir ini, sejumlah tokoh di kementerian, khususnya di Kementerian Agama dan Pendidikan, terus mengalami penggorengan isu oleh netizen dan media, terkait dengan kasus-kasus korupsi.
Bagi mereka yang berada di dalamnya, walau sekedar sebagai kaki-paling bawah sekalipun, tentunya akan menjadi bagian penting dan memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan jawaban kepada pihak lain, yang mulai meragukan kredibilitas dan kontribusi lembaga sakral dalam menjaga peradaban bangsa ini.
Sebagai guru, yang juga berada di bawah Kementerian Pendidikan, rasanya masih ada dan masih banyak yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap dunia pendidikan. Setidaknya demikian. Andai pun ada kasus dan kekeliruan dalam menerapkan praktek pendidikan, tetapi yakin bahwa hal itu adalah satu diantara ratusan ribu tenaga pendidik yang masih memiliki idealisme kuat dan tangguh dalam menjalankan peran pendidikannya.
Pun demikian adanya. Sebagai orang yang beragama, apapun agama yang kita anut saat ini, masih ada rutaan umat beragama yang kuat dan kokoh dalam menjaga peradaban dan keadaban bangsa dan negara ini. Mereka masih terus bergelut dengan upaya pencerahan atau purifikasi nilai-nilai moral baik di lembaga pendidikan maupun di tengah masyarakat umumnya.
Walau memang tidak menutup mata, oknum dan pelaku penyalahgunaan wewenang moral, masih saja terus bermunculan. Hal itu, sejatinya ada tiga sisi yang perlu dijadikan bahan analisis kita bersama. Tiga sisi yang dimaksudkan itu adalah adanya persentuhan antara kekuasaan, keduniawian dan Integritas. Saat integritas hilang pada diri seseorang, maka kekuasaan dan keduniawian akan menyebabkan tergelincirnya pada kubangan penyalahgunaan kekuasaan dan moral untuk kepentingan duniawinya.
Kekuasaan yang beririsan dengan lemahnya integritas, bisa melahirkan penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan moral, untuk kepentingan duniawi. Tidak jarang kita mengenal ada orang pintar, guru spiritual, atau nama lain dari itu, yang memanfaatkan (imajinasi) kekuasaan moralitasnya mempengaruhi jama'ah, sehingga terjebak pada kubangan tindak kriminal. Penipuan, atau pelecehan seksual.
Sedangkan, di lembaga pemerintahan, rendahnya integritas bertemu dengan kekuasaan pun, mendorong seseorang masuk dalam kubangan korupsi. Entah moral atau struktural, entah personal atau korupsi kolektif, namun tindak pidana korupsi, seakan 'bagian' tak terpisahkan dari kebiasaan pejabat di negeri konoha ini.
Sejalan dengan pikiran ini, tentunya, sangat jelas dan tegas, bila pilar-pilar keadaban ini, yakni moralitas dan keterdidikan, yang biasa dijalankan oleh organisasi suci, mengalami pemudaran, maka kita akan berhadapan dengan imunutas keadaban yang rapuh...
bagaimana menurut pembaca ?

0 comments:
Posting Komentar