Just another free Blogger theme

Minggu, 14 Desember 2025

Ide ini, sejatinya bukan barang baru. Begitulah, dalam pandangan para ahli. Eh, mungkin. Penulis sendiri, tidak begitu banyak membersamai perkembangan akademik di dunia kampus. Penulis sekedar membaca dari apa yang ada, diterima di media sosial, dan atau kepikiran saat menuangkannya dalam ruang-digital ini. Kendati demikian, ide ini pernah disampaikan di beberapa kesempatan, walaupun belum banyakmendapat respon. 

Mungkin tidak menarik.


Sekali lagi, walaupun tidak menarik, dan belum merangsang pemikiran sejumlah pihak, di ruang-digital ini, penulis ingin sampaikan ulang mengenai perkembangan karakter disiplin ilmu geografi.  

Tentunya, sajian narasi ini, bersifat subjektif, dari pemikiran pribadi, dan belum menjadi narasi akademik, hasil dari sebuah kajian akademik, berbasis data laboratorium. Belum. Inilah disclaimer penulis saat ini. Sajiannya, lebih disandarkan pada pendalaman penghayatan dari pengalaman pribadi, sebagai praktisi geografi di jenjang pendidikan dasar - dan menengah. Karena pengalaman dan juga bacaan terhadap lingkungan itulah, yang kemudian memaksa penulis untuk menuangkan adanya perkembangan karakter disiplin ilmu geografi.

Pertama, geografi di awal perkembangan atau lebih tepat dalam satu sisi, menunjukkan diri sebagai disiplin ilmu deskriptif. Pada fase ini, pada kategori ini, Geografi lebih bersifat pasif, yakni sekedar menggambarkan (deskripsikan) fenomena yang ada di permukaan bumi. Karena itu, sangat mudah dipahami bila kemudian makna geografi itu, berasal dari graphein, yakni menggambarkan, atau melukiskan.

Praktek pembelajarannya, sangat sederhana, yakni menyebutkan, mengingat atau menjelaskan mengenai keragaman fenomena geografi yang ada di permukaan bumi. Para pelakunya, selain seseorang yang serius belajar Geografi, banyak pula dimiliki oleh para pelancong, traveler, atau turis. Mereka itulah yang memiliki pengalaman perjalanan jauh ke berbagai pelosok bumi, dan kemudian mencatatkan ragam gejala alam dan sosial di sejumlah titik di permukaan bumi.

Metode pembelajarannya sangat khas, tak ada geografi tanpa ada perjalanan. Dengan berkunjung ke lapangan, maka kita akan mendapatkan pengetahuan Geografi. Geografi tanpa studi lapangan, adalah omong kosong. Begitulah kira-kira, nafas keilmuan fase deskriptif ini.

Kedua, geografi sebagai disiplin ilmu analisis-sintesis. Mohon izin, bisa jadi, perkembangannya bisa beriringan dengan karakter deskriptif. Tetapi, karakter ini, mengoreksi gagasan dasar Geografi. Menjadi pelancong, belum tentu mampu menghadirkan diri sebagai seorang Geografi, begitu pula bila menjadi seorang traveler. Hal itu terjadi, karena seorang Geograf, bukan hanya mampu menyebutkan fenomena permukaan bumi, namun memiliki metodologi dan pendekatan kritis kegeografian.

Praktek pembelajarannya, bisa saja, menggunakan studi lapangan.  Tetapi studi  lapangan saja, tidak cukup, karena perlu mengedepankan sikap kritis dan metodologi keilmuan tersendiri. Sejumlah pakar menyebutnya, dengan teknik sintesis-analisis dengan memanfaatkan informasi atau data-rupa bumi yang ada secara menyeluruh.

Bila demikian adanya, apakah studi lapangan menjadi wajib ? tentunya, data lapangan perlu. tetapi, data lapangan bisa pinjam ke disiplin ilmu yang lainnya. Karena Geografi itu sendiri pada dasarnya bisa memanfaatkan data demografik, data geologi, data sosia-budaya, dan data ekonomi, atau informasi data rupa bumi yang lainnya. Seorang geografnya, bisa duduk manis di bangku. Ah, sekedar contoh, Immanuel Kant pun, diakui sebagai tokoh Geografi, walaupun tidak pernah melakukan studi lapangan seperti Geograf lainnya.

Terakhir, dan ini ada kaitannya dengan kondisi faktual di era modern. Karakter disiplin ilmu Geografi ini, dituntut untuk bukan sekedar mendeskripsikan atau menganalisis, namun secara proaktif merekayasa lingkungan.

Geografi hari ini, akan dan sudah mulai menjelma menjadi disiplin ilmu yang proaktif untuk melakukan rekayasa sosial. Pada fase sebelumnya, seorang Geografi, cenderung pasif, yakni  sekedar mendeskripsikan, atau reaktif, yakni menganalisis masalah keruangan yang terjadi. Sedangkan pada fase ini, adalah perlu menunjukkan sikap pro aktif dalam merekayasa lingkungan.

Munculnya ragam bencana alam, bisa jadi, merupakan kritik terhadap dunia Geografi. Hari ini,  muncul ragam analisis mengenai masalah kehutanan, potensi bencana dan rawan bencana. Namun, tentunya, analisis hari ini, terkait hal itu, dapat kita sebutnya sebagai pendekatan reaktif dalam kajian Geografi. Sementara untuk masa depan, kita membutuhkan peran pro aktif Geografi dalam merekayasa lingkungan, sehingga bumi ini bisa lestari berkelanjutan.

Pada konteks ini jugalah, rekonstruksi wilayah rawan bencana atau korban bencana, seperti yang sudah pernah dilakukan di Aceh dan Nias, atau kawasan bencana lainnya, sejatinya menuntut sikap pro-aktif dari Geografi-Rekayasa. Peran nyata yang perlu dilakukan, bukan sekedar analisis keruangan, melainkan merekonstruksi keruangan, sehingga menjadi ruang-buatan yang baru, yang bisa mendukung pada imajinasi-kita membangun ekosistem lestari berkelanjutan.

Nah, bagaimana menurut pendapat pembaca ?


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar