Just another free Blogger theme

Jumat, 26 Desember 2025

Bencana kerap kali terjadi, dan menghampiri negeri kita. Bukan sekali, tetapi berkali-kali. Tidak lagi sederhana, tetapi kompleks. Tidak pernah memberikan keceriaan, yang ada penderitaan. Tidak sesaat, lebih banyaknya derita yang berkepanjangan. Namun demikian, persoalan pokok karakter bangsa kita, merujuk pada sebuah pertanyaan, apa yang ada dalam nalar kita ?



Tengok dan telaahlah, struktur berpikir bangsa kita, saat dan dalam konteks merespon bencana dan kebencanaan ini. Tentunya, kita tidak langsung menelaah struktur otak manusia Indonesia saat ini. Mustahil  itu dilakukan. Karena, jarak dan ruang, serta butuh waktu yang lama.  Hal yang mudah bisa kita lakukan, adalah memahami kenampakkan reaksi, atau respon publik dan tentunya elit bangsa Indonesia ini.

Ada beberapa point penting yang perlu dikedepankan di sini. Ajuan pemikiran ini, kita posisikan sebagai asumsi atau hipotesis, silakan saja. Dua posisi yang katanya mustahil, namun penulis tetap hendak posisikan demikian, dengan alasan, silakan sesuaikan dengan persepsi masing-masing.

Pertama, terlalu seringnya bencana seruba, dengan skala dan intensitas yang sama, menunjukkan respon kita selama ini tidak pernah ada perubahan. Sekali lagi, dipertegas, jika ada bencana yang berulang, dengan gejala yang sama, dampak sam, dan kualitas yang sama, hal itu menunjukkan bahwa respon manusia sekitarnya atau kebijakan pemerintah di masa lalu itu, tidak signifikans. 

Jelas, tidak signifikans. Bukti ketidakefektifan respon kita semua itu, adalah adanya bencana yang datang berulang dengan skala yang sama, atau malah lebih buruk dari itu semua.

Mari kita tanyakan sendiri. Saat, terjadinya banjir dan kebakaran hutan di masa lalu, adakah respon dan kebijakan pemerintah terhadap banjir dan bencana itu ? jawabannya, jelas dan tegas, TENTU SANGAT ADA. PEMERINTAH SUDAH MELAKUKAN BANYAK HAL. Namun, bila kemudian, bencana itu, datang lagi, berarti tindakan, respon, atau reaksi kita saat itu, tidak signifikans mengubah keadaan.

Kedua, signifikansnya respon, sekedar meredakan dampak, dan bukan penyebab. Kita lanjutkan diskusinya. Jika upaya pemerintah di masa silam itu, sudah dianggap signifikans dalam memecahkan masalah, namun ternyata, bencana itu datang lagi, maka hipotesisnya sangat jelas, bahwa respon kebencanaan di masa silam itu, lebih pada dampak dan bukan penyebabnya. Buktinya ? bencana itu datang lagi !!!

Lebih tegasnya begini. Penyebab banjir adalah penggundulan hutan. Penggundulan hutan, disebabkan oleh pembalakan sumberdaya hutan, yang tidak bertanggungjawab. Bila, respon kebencanaan kita lebih pada penanganan korban dan pemulihan lokasi bencana, dan tidak pada akar masalahnya, yakni membenahi pola pengelolana sumberdaya hutan, yakinlah, bencana banjir seperti yang ada sekarang ini, akan berulang lagi di masa depan.

Perhatikanlah dengan seksama. Bagaimana reaksi atau respon pemerintah saat ini ? lebih sibuk menangani korban bencana. TIndakan ini penting, dan harus dilakukan. Tetapi, manakala akar masalah kebencanaan itu, tidak segera ditangani, maka bencana dan bencana akan datang lagi, dengan kualitas serupa atau lebih buruk lagi dari apa yang terjadi saat ini.

Ketiga, respon kebencanaan yang dilakukan, cenderung emosional dan sosial, belum ke wilayah sikap antisipatif dan progresif. Kebanyakan diantara kita, dan begitu pula dengan Pemerintah, lebih banyak menunjukkan sikap-sikap emosional atau sosial, malah cenderung pencitraan. Misalnya, memikul beras sendirian ke tengah masyarakat bencana, atau melawat korban bencana dengan bincang-bincang, sambil memberi bantuan.

Sekali lagi, itu yang tampak, seperti yang ada di media sosial. Kita bukan tidak setuju dengan hal itu. Tetapi, respon dan reaksi serupa itu, tidaklah cukup. Tersebab, respon kebencanaan serupa itu, hanya meredakan masalah yang bersifat sesaat dan sekedar meredam dampaknya saja. Hal substantif adalah menghapus akar masalah, yang menjadi penyebab masalah.

Mohon maaf, tentunya betul, kita alpa informasi. Bisa jadi, ada sejumlah peneliti yang bekerja secara senyap dibalik laboratorium untuk menelaah dan menemukan teknolohi rekaysa ruang, supaya bencana itu bisa dihindari, dna kita hidup dalam keadaan aman dan nyaman. 

Biarkanlah, yang  bekerja senyap, untuk terus bekerja, dan kita tunggu hasilnya di masa mendatang. Titik tekan narasi di bagian ini, hal yang perlu dikedepankan itu, adalah hadirnya keputusan politik yang progresif dan antisipatif, baik berupa teknologi maupun kebijakan publik, yang bisa mengatasi akar masalah kebencanaan, dan bukan sekedar mengatasi dampak kebencanaan.

Keempat, kuasa alam, kerap kali dijadikan alasan, namun tak pernah mau tunduk pada hukum alam. Sikap ini menarik untuk dibincangkan di sini. Karena kita sering kali mendengar, alasan dan pengakuan dari pemerintah atau pemilik kuasa, yang menyudutkan gejala alam sebagai penyebabnya.

Dalam beberapa kasus, seperti banjir di perkotaan, kerap kali, menyandarkan pada intensitas atau curah hujan yang ekstrim, sehingga terjadi bencana banjir. Manusia, menurut pengakuannya, tidak bisa  mengendalikan perubahan ekstrim tersebut. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula, muncul pertanyaan, kenapa atuh, HUKUM ALAM itu, tidak dipelajari dan tidak dijadikan sandaran dalam meranang wilayah ?

Maksudnya apa ?

Ya itu, hutan larangan, kenapa masih dirusak ? daerah wisata, ditambang sesuka hati ? Daerah tambang, diambil tambangnya, dan dibiarkan gundul ? bukankah hal itu, menunjukkan bahwa perbuatan kita selama ini, menantang hukum alam ? artinya, bila selama ini, tahu bahwa kadang alam itu sulit dikendalikan, lantas, mengapa tindakan manusia pun, tidak bisa dikendalikan saat melakukan eksploitasi sumberdaya alam ?

Realitas itu, tampak jelas, merupakan paradoks pemikiran yang tidak mudah diselesaikan, kecuali dengan meditasi untuk mendapatkan kesadaran purna dalam memahami realitas kehidupan saat ini. Artinya, kalau kita memang tahu dan paham, bahwa alam kadang berreaksi diluar kuasa kita, maka kenapa kita tidak berdamai dengan hukum alam ?

Terakhir, dalam dunia akademik, kita sudah mendapatkan narasi mengenai skema mitigasi benana. Sayangnya, konsepsi mitigasi bencana itu, lebih menekankan pada respon kebencanaan dalam mengatasi gejala, dan dampaknya. Bukan pada titik soal yang krusial, yakni menghilangkan penyebab pokok kebencanaan.

Kita pertegas lagi, pokok soal narasi ini, cermati respon kebencanaan yang kita lakukan hari ini. Mengatasi  dampak bencana, atau berusaha menghapus penyebab bencana ? jika kita abai terhadap satu atau dua hal ini, yakinlah, bahwa respon kebencanaan yang kita lakukan selama ini,d an hari ini, lebih sekedar emosional dan sesaat. Bila demikian adanya, maka manfaatnya, tidaklah akan banyak.

Bagaimana menurut pembaca ?


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar