Just another free Blogger theme

Sabtu, 27 Desember 2025

Publik masih bertanya-tanya, apa hasil akhir dari narasi kebencanaan yang sedang terjadi di tengah perjalanan bangsa Indonesia ini ? Kita semua,  merasakan dan menyaksikan, bahwa di ruang publik ini, sudah ada sejumlah komentar, rasanya sudah bermunculan, bahkan cukup banyak sudut pandang, tersajikan dalam ragam platform media komunikasi ini. Namun, sebagian masyarakat, tentunya, masih tetap mengajukan pertanyaan apa konklusi yang dianut oleh Pemerintah, terkait dengan kebencanaan yang terjadi saat ini.



Pertanyaan ini penting untuk diajukan.  Bahkan, bisa jadi, pertanyaan ini, menjadi pokok soal yang perlu terus dikejar, dan dikawal. Bila saja, pertanyaan ini tidak ada jawabannya, dan atau jawabannya tidak sesuai dengan esensi kebencanaan yang terjadi saat ini, maka, hipotesis kita yang kemarin akan ada pembenaran lagi. Bencana akan terjadi lagi, di masa yang akan datang, dengan sebab dan pola yang serupa, bahkan bisa  lebih buruk dari yang sudah terjadi.

Dalam konteks ini, cermatan kita terhadap narasi dan argumentasi kebencanaan dari nalar-Pemerintah, menjadi sangat penting untuk dipelototi bersama. Bukan hanya kita, semua pihak, hendaknya memiliki kekompakkan nyata, dalam mengamati proses pengolahan data dan informasi kebencanaan yang mereka kumpulkan, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan serta proses pengambilan kebijakan dan sikap politiknya di masa mendatang.

Kok bisa ? tentunya, bisa, dan harus kompak bisa memelototi warna nalar Pemerintah terkait dengan kebencanaan ini. Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, bahwa epistemologi kebencanaan ini, akan menjadi warna utama orientasi atau arah keputusan yang dimiliki oleh seseorang, termasuk pihak Pemerintah itu sendiri.

Untuk menggenapkan, argumentasi yang sudah disampaikan dalam wacana sebelumnya, maka khusus untuk konteks ini, setidaknya, dan ini seperti biasa, akan diajukan lima argumentasi pokok mengenai pentingnya kita mencermati narasi atau argumentasi kebencanaan yang dikedepankan Pemerintah.

Pertama, narasi dan argumentasi, umumnya akan menjadi sebuah latar-aksi dari Pemerintah. Bila saja, gejala kebencanaan ini, lebih dianggap sebagai fenomena natural dan dampak dari perubahan iklim atau gejala ekstrim alam, maka tindakan dan kebijakannya pun, tidak akan jauh dari mengarahkan pada pentingnya kewaspadaan dan peringatan dini BMKG. Hanya itu saja !

Bagaimana narasi dan argumentasi yang dimiliki oleh publik, swasta atau netizen, terkait adanya dugaan dari malpraktek pemberian hak guna lahan kepada kaum oligarkhi dan juga penguasa ? tentunya, wacana ini, akan tenggelam seiring dengan warna narasi serta argumentasi yang dikeluarkan pihak Pemeintah tadi.

Kedua, warna narasi, argumentasi dan aksi, akan menjadi pola unik dari bacaan publik terhadap sikap Pemerintah. Kita tidak akan membicangkan mengenai keselarasan antara tiga komponen itu. Hal pasti, selaras atau tidak selaras, ketiga komponen itu, akan melahirkan bacaan mengenai pola kebijakan Pemerintah.

Adalah masih ingat dalam benak netizen. Kadang penguasa dengan tongkat kekuasaan serta stempel yang dimilikinya itu, kadang bertindak egois. Karena percaya diri dengan magnet kekuasaannya, para penguasa kadang tidak memperhatikan pentingnya keselarasan narasi, argumentasi dan aksi. Bohong atau tidak konsisten dalam politik, seakan menjadi sarapan pagi elit politik di negeri kita.

Sehubungan hal itu, maka saat kita, menemukan narasi dan argumentasi kebencanaan yang indah, tidak menunjukkan aksi-aksi politik dan kebijakannya seindah narasi yang diluncurkan. Untuk sekedar contohnya, ternyata Presiden sekalipun, masih merasakan ada hambatan yang kuat, saat untuk membereskan masalah pengelolaan Hutan. Artinya, masih ada variabel lain yang bisa mengubah arah kebijakan pemerintah, kendati narasi dan argumentasinya sudah dilontarkan terlebih lagi.

Ketiga, sayap-sayap argumentasi, untuk sebuah kebijakan yang berbeda. Bisa jadi, ini sekedar prasangka positif kita, narasi mengenai akar masalah kebencanaan itu, adalah masalah kesalahan pengelolaan hutan, dan argumentasinya pun, sudah disiapkan, kebijakannya bisa berbeda, atau bersayap. Ini adalah nalar-politik penguasa kita.

Tuh, baru saja kita saksikan bersama. Kendati sudah ada keputusan MK, bahwa kepolisian tidak boleh menduduki jabatan sipil, malah kemudian keluar Peraturan Polisi Nomor 10 Tahun 2025, terkait dengan adanya ruang jabatan sipil yang bisa diduduki anggota polisi.  Konflik dan intrik kebijakan terjadi, dan publik terkaget-kaget. 

Bagaimana jalan tengahnya ? ya, itulah, yang kita sebut tadi, pelebaran sayap pemaknaan. Sayap makna itu, satu sisi diharapkan bisa meredam emosi publik, dan di sisi lain, masih tetap melanggengkan kekuasaan. 

Bila hal ini terjadi pula pada masalah kebencanaan, maka tidak akan kaget, bila kemudian, akan lahir kebijakan yang seakan pro-populis, namun tidak mengubah struktu penguasaan para pemilik lahan di berbagai daerah di Indonesia. Pada ujungnya, bisnis  mereka tetap jalan, walaupun ada peraturan  baru, yang dirasa pro-populis. Itulah yang disebut, sayap nalar yang berkembang jauh lebih terbuka daripada argumentasi objektif.

Keempat, nalar penguasa cenderung mengacu pada keyakinan 'nalar publik yang bisu' jauh lebih kuat, dibanding dengan nalar-publik yang  bunyi. Maksudnya, nalar publik yang bunyi, baik di  media sosial maupun aksi sosial, sejatinya jumlahnya bisa dihitung. Kekuatan mereka hanya ada pada suara, dan bukan pada kekuatan politik. Dengan kata lain, penguasa akan mengedepankan sikap-kuasanya, karena merasa didukung oleh publik yang bisu, dan merasa tidak khawatir dengan publik yang bunyi.

Gejala sosial politik kita, kegaduhan yang ada selama ini, kerap kali, hanya ada di wilayah elit-media atau elit-digital. Mereka ramai dan gaduh. Walau memang harus diakui, nalar kelompok elit-menengah ini, bisa jadi, yang objektif, dan rasional, serta argumentatif dalam mencermati masalah kebencanaan ini. 

Sementara di balik itu semua, Penguasa pun memiliki masalah dengan jebakan kaum pengusaha. Saat situasi ini, terjadi seperti ini, maka 'keyakinan tidak akan chaos' oleh protes publik, akan terasa lebih kuat dibanding harus memperhatikan suara-nyaring dari kelompok elit yang berjumlah sedikit.

Bila situasi ini, Pemerintah akan mengambil sikap "biarkanlah, suara itu, pasti akan berlalu..", dan mereka akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Terakhir, bila situasi ini, terjadi dan akan terus begini, dan kemudian, tingkat kepercayaan penguasa masih tetap besar dan membesar, akan dukungan dari kelompok-besar yang bisu, maka perubahan sikap dan kebijakan terkait dengan masalah kebencanaan ini, akan sulit terwujud.

Hal yang biasa terjadi dalam dunia politik, sejatinya adalah bukan apa yang dinarasikan atau di argumentasikan ke publik, namun apa yang bisa dikompromikan. Inilah yang disebut tradisi nalar perpolitikan. Lantas, bagaimana dengan kita ? dimanakah posisi nalar atau argumentasi dan aksi kita saat ini ? 

Rasanya, narasi kita masih tetap sama. Narasi kebencanaan yang terbaca di ruang publik, tetap tidak mengerucut, andapun sikap kritis, namun semua itu masih bersayap-sayap. Tidak ada suara utuh dalam memahami kebencanaan ini. Nalar kebencanaan yang kita miliki, masih ada dalam wilayah gelap, atau abu-abu. Oleh karena itu, harapan untuk bisa mendapatkan solusi positif dan progresif dalam mengatasi masalah kebencanaan, kelestarian alam, dan juga keadilan ruang, masih akan tetap menjadi wacana terbuka di media massa kita hari ini, dan juga masa depan.

Bagaimana menurut pembaca ?


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar