Just another free Blogger theme

Jumat, 19 Desember 2025

Ada berita menggembirakan. Berita ini, terkait dengan nilai kedermawanan bangsa Indonesia. Inilah beritanya.


Dalam tujuh tahun terakhir secara berturut-turut sejak tahun 2018-2024, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia berdasarkan riset publik Charities Aid Foundation dalam tajuk World Giving Index. Predikat ini merupakan modal sosial bagi Indonesia.  

Setelah tahun 2018, Indonesia menggeser Myanmar yang pada tahun 2017 sebagai negara paling dermawan di dunia, posisi pertama Indonesia belum pernah tergeser hingga tahun 2024. Tren positif Indonesia secara skor indeks stabil naik dari 59 hingga 74. Angka yang disebut terakhir bahkan menjadi skor indeks tertinggi untuk sebuah negara pada World Giving Index (WGI) sejak dirilis pada tahun 2010

Namun, dalam waktu terakhir ini, kita pun, mendapat berita yang mengagetkan nalar kita. Pemerintah menolak bantuan asing, terkait dengan uluran tangan mereka untuk korban bencana di Sumatera.

Presiden Prabowo Subianto tegas menolak bantuan asing yang ditawarkan kepada Indonesia untuk mengatasi bencana yang meluas di Sumatra. Para pakar mempertanyakan keputusan Prabowo yang menurut mereka bisa merugikan masyarakat yang terdampak bencana.

Tentunya, dengan dua berita ini, ada pertanyaan kritis, yang menghantui nalar kita. Disebut menghantui, karena ada beberapa hal yang perlu dikonformasi.

Pertama, kedermawanan melahirkan balikan kebaikan dari orang lain. Rumusan ini, ada dalam benak kita. Nalar moralitas kita, memberikan penjelasan bahwa kebaikan seseorang, akan berbuah kebaikan pada kepada diri kita. Semakin banyak kita berbuat baik pada orang lain, maka orang lain pun, akan memberikan respon serupa saat kita dalam keadaan menderita.

Bila rumusan moral ini, dipakai, lantas, apa salahnya, jika pihak asing memberikan bantuan kepada negara kita ? mungkinkah hal itu, adalah cara alam, atau cara sejarah memberikan bukti terkait rumus resiproksitas atau law attraction. 

Kedua, sebagaimana kita ketahui, dalam hukum resiproksitas, setiap orang yang normal akan memiliki tanggungjawab untuk memberikan balasan yang setara atau lebih terhadap aksi orang lain. Hal ini, sejalan dengan law attraction, pancara ke  luar akan memberikan balikan sepersi pancaran  yang ditebarkannya pula.

Persoalannya, saat ada reaksi terhadap pancaran orang lain, terhadap diri kita, akankah hal itu, juga memberikan gambaran mengenai motivasi atau prasangka yang dipancarkan keluar pula ?

Maksudnya begini. Andai saja, kita merasa curiga terhadap motif bantuan orang terhadap negara kita, saat memanfaatkan situasi bencana ini, akankah hal itu, merupakan sinyal-alam bawah sadar mengenai motif diri kita saat memberikan bantuan kepada orang lain ? kalau curiga orang lain, memata-mati kita, dengan memanfaatkan bencana, jangan-jangan kita pun, melakukan hal serupa kepada orang lain.

Ketiga, bila kita melakukan gerakan pembantuan sebagai gerakan kemanusiaan, lantas mengapa kita menutup peluang kemanusiaan orang lain terbuka dan mengembang terhadap diri kita ? Pertanyaan ini, cukup sulit dan pelik untuk bisa dikomentari dengan proporsional. Sangat subjektif, bahkan kadang bisa bersifat politik.

Terakhir, orang yang menolak bantuan disaat bencana, secara psikologis menunjukkan ada kesombongan dalam dirinya. Merasa diri mampu, dan bisa melalui situasi ini. Padahal, bantuan orang lain itu, bukan sekedar kemandirian diri, namun masalah kemanusiaan dan...... kemanusiaan saja !

Terlalu murah, bila nilai kemanusiaan ditukar dengan masalah gengsi. Andai masalah ini, yang jadi hantu dalam pikiran seseorang saat, ada orang lain yang mengulurkan tangan. Terlalu sederhana, bila bersandar pada merasa mampu, dengan cara menolak kebaikan dan kepedulian sesama. Atau jangan-jangan, karena demi kehormatan diri, dan merasa ingin dihormati, kendati kondisi ekonomi morat-marit, kemudian berusaha untuk bisa membantu orang lain ? sedangkan, saat dirinya dalam musibah, karena gengsi juga, maka dia menolak bantuan orang lain ?

Entahlah, sikap itu, tentunya, bukan energi hidup bangsa kita. Bangsa kita, adalah negara yang menganut kemanusiaan yang adil dan beradab. Jiwa kemanusiaan kita, termasuk dalam kontek saling bantu dalam menghadapi masalah kehidupan global ini, dilandasi nilai-nilai keadilan dan keadaban. 

Kecuali memang, bila ada pengalaman dan trauma terhadap motif orang lain dapat memberikan bantuan, maka hal itu,  beda cerita, Nalar politik akan lebih mengemuka, dibanding dengan nalar kemanusiaannya.

Untuk mengatasi hal serupa ini, tentunya, hal pokok dan mendasar adalah kesigapan pemerintah, baik formal maupun informal untuk menjaga kedaulatan bangsa. Bila saja, ada indikasi motif politik dalam pemberian bantuan, atau mengaitkannya dengan masalah utang bangsa, atau inteligensi asing ke dalam negeri, maka peran inteligen Negara khususnya TNI, perlu dimaksimalkan, bukan dengan cara menolak bantuan, karena alasan yang tidak ada kaitannya dengan kemanusiaan itu sendiri.


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar