Disclaimer. Tulisan ini, lebih merupakan hipotesis, bahasa akademiknya. Sementara bahasa awamnya, dugaan dari orang luar terhadap fenomena yang terjadi. Tentunya, sebagai sebuah hipotesis atau dugaan pemikiran, atau istilah lainnya opini, terwarnai aura subjektif penulis. Penilaian serupa itu, tidak jadi soal. Maksudnya, penulis akui dan sadari itu. Terlebih lagi, tulisan ini, disampaikan dari jarak jauh, dan tetangganya saja. Karena itu, kemungkinan ada kekeliruannya sangat terbuka.
Pendahuluan pemikirannya, sebagai warga negara dan umat beragama, kita prihatin, dengan adanya kisruh di tubuh NU, yang melibatkan para petinggi organisasi. Ah, ketang, di negeri kita ini, memang seringkali, intrik dan konflik di level elit itu, bukan barang baru. Cukup sering, dan seringkali menjadi konsumsi media. Terlebih lagi, bila organisasi kelompok yang bertikai itu, adalah elit-politik atau elit agama yang memililki massa melimpah.
Sebagai warga negara dan umat beragama, kita berharap, kekisruhan itu, bisa segera diselesaikan, sesuai mekanisme organisasi atau teologi keagamaan yang dianutnya. Setiap organisasi, secara normatif dan formal, akan memiliki panduan internal dalam mengelola konflik dalam tubuh organisasi itu. Eh, ini mah, bukan saran, sekedar harapan saja. Boleh kan, kita semua berharap demikian, biar tidak jadi bola liar dan dikonsumsi oleh kelompok yang tidak berkenan dengan kuat kokohnya organisasi keislaman di negara tercinta ini !!!
Di luar persoalan itu, dan juga, dalam pandangan orang luar juga, penulis bermaksud untuk menyampaikan hipotesis, yang turut berkembang di lapangan.
Pertama, kemandirian ekonomi-politik. Walau bukan satu-satunya sebab, Intrik dan kisruh ini, diduga terkait dengan sikap-organisasi terkait ekonomi politik organisasi. Khususnya dalam kesiapan organisasi mengelola tambang. Pandangan ini, setidaknya, dirujukkan pada informasi bahwa KH. Said Aqil Siradj, menganjurkan untuk PBNU untuk mengembalikan konsesi pengelolaan tambang yang diberikan Pemerintah.
Tampaknya, kemitraan PBNU dengan Pemerintah terkait pengelolaan tambang ini, tidak serta merta diterima oleh kultur organisasi secara merata. Setidaknya, dengan mengatasnamakan demokrasi, bisa jadi, ada kelompok internal yang tidak setuju dengan sikap PBNU dalam menerima pengelolaan tambang. Ujungnya, akan menjadi delik-organisasi, yang bisa saja menjadi benih perbedaan paham, sikap dan pandangan dalam berorgansiasi. Seperti yang terjadi hari ini.
Kedua, kemandirian politik keberpihakan. Secara politik, NU adalah organisasi mandiri. Tidak ada afiliasi politik dengan partai apapun, dan penguasa manapun. Politik organisasi, dapat disebut mengedepankan politik kebangsaan. Namun secara praktis, keberpihakan politik itu, sangat kentara, dan terasa. Setidaknya, dapat disebutkan bahwa secara politik, tubuh NU ini, diisi oleh kelompok kepentingan politik yang beragam.
Sejumlah fakta atau pengalaman politik praktis, bisa mendukung hipotesis ini. Misalnya, instruksi PKB yang notabene partai politik yang lahir dari rahim NU, tidak mampu mengkonsolidasi jama'ahnya. Jama'ah NU cenderung terbuka, dan bisa bersebrangan dengan PKB. Dengan kata lain, pada dasarnya, dalam tubuh NU itu sendiri, afiliasi politiknya sangat beragam.
Apa dampaknya ?
Tentunya sangat jelas. Pada saat, kepentingan politik partisan itu muncul, maka akan menjadi pembelah-kesolidan organisasi. Pertanyaan lanjutannya, apakah, kisruh hari ini, pun, diwarnai oleh adanya friksi politik di dalamnya ?
Jawaban terhadap masalah ini, tentunya, keluarga besar NU, yang jauh lebih paham.
Ketiga, hipotesis terakhir, intrik politik tidak akan terjadi, bila ada konsolidasi ideologi politik yang tunggal. Pandangan ini, perlu dicermati bersama, khususnya dalam konteks politik organisasi, dalam berbangsa dan bernegara. Artinya, jika kita masih tetap memelihara ideologi-terbuka dalam afiliasi politik praktis, maka rebutan kekuasaan dalam tubuh organisasi, sangat rentan disusupi kelompok kepentingan politik praktis itu sendiri.
Kita paham, aura demokrasi akan lebih kuat terasa dan menarik, dengan mengedepankan politik praktis yang terbuka. Namun dengan sikap serupa itu juga, potensi keragaman afiliasi politik akan berbarengan dengan keragaman kepentingan dalam berorganisasi. Pada ujungnya, kultur organisasi keagamaannya, potensial mudah tercemar oleh toxit politik praktis. Arah angin politik organisasi, bisa dipengaruhi oleh angin politik faktual saat itu.
Pengalaman praktisnya sangat mudah ditemukan. Satu tokoh agamam dengan jama'ahnya, akan bersebrangan sikap politiknya (baik di Pilkada maupun Pilpres) dengan tokoh agama dan jama'ah lainnya. Pertanyaannya, apakah perbedaan afiliasi politik praktis (kepentingan politik) ini, secara tidak sadar bisa mempengaruhi gaya berpolitiknya di tubuh organisasi ?
Sekali lagi, jawaban terhadap masalah ini, tentunya, keluarga besar NU jauh lebih paham.
Kita percaya, NU adalah organisasi keagamaan yang sudah matang dalam mensikapi situasi lingkungan eksternal dan internal organisasi. Kasus seperti yang terjadi hari ini pun, pada dasarnya, sekedar dinamika organisasi biasa, bagi NU itu sendiri. Karena itu, dugaan-dugaan sosial yang disampaikan ini, tentunya sudah terpahami dan dipahami oleh sesepuh kita, guru kita, yang ada di struktur organisasi yang kita cintai ini.
Narasi ini, sekedar curhatan orang luar, yang tetap mencintai kokohnya organisasi keagamaan dalam menjaga keberlanjutan Indonesia !

0 comments:
Posting Komentar