Dalam konteks peradaban hari ini, kita, baik sebagai guru maupun sebagai orangtua, kerap kali dihadapkan pada perilaku anak rejama yang aneh-aneh, dan mengusik rasa. Iya, betul, mengusik rasa. Bukan sekedar menyentuh, dan mengusik, bahkan ada yang tercabik-cabih rasa.
Sewaktu masih ramai, memanfaatkan kendaraan umum bernama angkutan kota (ANGKOT), tak jarang, bila pulang kerja, akan bertemu dengan pasangan remaja, di angkot duduk berduaan. Bersandingan. Bahkan, bercumbu mesra. Mereka tidak risih dengan orang yang ada di sekitarnya.
Mereka merasa nyaman, atau merasa biasa saja. orang melihatnya, malah risih dibuatnya. Namun tak kuasa melakukan sesuatu, yang ada dalam rasa dan pikirannya.
Pun demikian adanya, saat kita berkunjung ke tempat keramaian. Bukan hanya di daerah wisata, bisa di sekolahan, atau pusat perbelanjaan. Tidak jarang, kita menemukan pasangan remaja bermesraan dan bercumbu, tanpa sungkan dilakukannya.
Ah, baru saja, kemarin lalu. Saat wisata ke Pangandaran. Kebetulan di hotel ada kolam renang. Saya pun menyempatkan renang di lokasi itu. Bukan kebetulan, ada sepasang remaja yang juga berkunjung ke lokasi itu, mungkin juga nginep di lokasi itu, dan menyempatkan renang di tempat itu. Yakin belum nikahan, karena masih tampak belia. Tapi, gak yakin juga dengan hal itu. Hal yang kurang mengenakkan, sang putri itu, kelihatannya ingin bisa renang, dan sang lelakinya, semangat mengajarinya. Hanya saja, cara mengajari renangnya itu loooh, "tidak seperti coach yang mengajari muridnya...., malah bingin gemes orang lain dan cemburu orang lain..".
Bagaimana tidak ? ah, pokoknya, bukan sekali itu, melihat arena kolam renang, dijadikan tempat bercumbu orang yang 'belajar renang' dengan kemesraan.
Mereka merasa nyaman, atau merasa biasa saja. orang melihatnya, malah risih dibuatnya. Namun tak kuasa melakukan sesuatu, yang ada dalam rasa dan pikirannya.
Lain cerita di beberapa tempat kerja, atau persekolahan. Obrolan ini, didapat saat berada di luar kerja. Seseorang bertutur, bahwa pimpinan di tempat kerjanya, dikomplain banyak pekerja perempuan, sebagai orang yang melakukan tindakan tak selayaknya. Pekerja perempuan itu, kebanyakan sudah berkeluarga, pun demikian dengan pimpinannya itu.
Hal unik, sang pimpinan, dikenali sebagai orang yang sok kenal sok akrab, dan ingin akrab dengan semua kalangan. termasuk kalangan pekerja perempuannya. Sebagai bukti keinginannya itu, kerap kali dia pun melakukan pola komunikasi mengakrabkan diri. Untuk hal itu, tak jarang dia mendekati karyawannya itu, dengan bahasa tubuh yang dia ekspresikan dan budayakan sendiri, termasuk tepak-toel (sentuh anggota tubuh).
Praktek tepak-toel itu, misalnya menyentuh pinggang, kadang ke pundak, kadang ke bahu, dan tak jarang juga berbincang dengan cara menatap wajah penuh keseriusan. Semua itu, dia lakukan dengan maksud dan tujuan untuk membangun keakraban.
Sayangnya, kelakuan serupa itu, tidak semua orang menerima. Sebagian orang, merasakan, bahwa tindakan orang itu, diartikan sebagai bentuk pelecehan, dan bukan keakraban. Perbuatan itu, dianggap menganggu kenyamanan pergaulan, dan bukan sebagai bentuk keakraban. Hal itu, setidaknya, ditunjukkan oleh kalangan perempuan itu, dalam bentuk speak-up, terkait ketidaknyamanannya.
Dalam konteks itulah, untuk membangun madrasah ramah anak, sekolah ramah anak, dan komunitas ramah anak, perlu dibudayakan berani bicara. Berani bicara adalah harga diri, dan mendiamkannya, sama dengan membiarkan kekerasan itu terjadi.
Bukan hanya lembaga pendidikan yang ramah anak, tetapi ramah budaya. Dengan kemampuan berani bicara, kita bisa bersama membangun sekolah ramah dan budaya, tempat wisata ramah anak dan budaya, pusat keramaian yang ramah anak dan budaya, atau yang lainnya.
Bagaimana menurut pembaca ...
.jpg)
0 comments:
Posting Komentar