Just another free Blogger theme

Kamis, 04 Desember 2025

Alhamdulillah, di pagi Jum’at ini, ada waktu untuk menafakuri firman Allah Swt, yang terungkap dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman :



﴿ وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦ اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ ١٥٧ ﴾ ( البقرة/2: 155-157)

Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).   Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.  (Al-Baqarah/2:155-157)

Menengok sejumlah kitab tafsir terkait ayat ini, kita menemukan beberapa inspirasi yang sangat mendalam. Kesan subjektif kita, selepas membaca ayat ini, kita diajak pada sebuah narasi yang luar biasa luas dan mendalam. Gaya bahasa yang digunakannya unik, dan menggugah emosi serta nalar si pembacanya.

Di awal kalimat, pembaca langsung dihadapkan pada dua gaya bahasa penehuhan (taukid), yaitu huruf lam dan nun, hal itu tampak dalam kata wa lanabluwannakum. Huruf lam dan nun bertasyid, merupakan huruf taukid, menguatkan dan mengokohkan. Sehingga para ahli bahasa dan mufassir, memandang bahwa informasi yang akan disampaikan itu adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan sekedar potensi atau kemungkinan, melainkan sesuatu yang pasti terjadi. Sehingga dalam terjemahan Indonesia, kata pembukanya itu adalah ”Kamu Pasti akan..”.

Informasi (berita) yang disampaikan itu, yakni praktek pengujian (balau). Dengan kata lain, pengujian adalah kebijakan ilahiah yang pasti akan terjadi, dan diberlakukan kepada manusia (penerima berita). Setiap manusia perlu tahu, sadar dan siap-siap menghadapi ujian hidup. Ujian hidup ini, tidak pilih-pilih orang. Setiap orang akan merasakan dan menghadapi pengujian dari Allah Swt. Itu pasti. Tidak ada orang yan bebas dari pengujian. Hal yang membedakan, mungkin dalam masalah waktu, intensitas, kualitas dan kuantitas pengujiannya itu sendiri.

Pengujian dari Allah Swt, bisa hari ini, esok, lusa atau di masa depan. Waktu pengujiannya, bisa sesaat, sehari atau beberapa hari. Keputusan itu, merupakan hak prerogatif Allah Swt, dan juga respon manusia dalam menghadapi ujian tersebut.

Ada juga masalah intensitasnya. Ada yang mengalami pengujian sekali, dan kemudian terjadi lagi di waktu-waktu yang lainnya. Ada pula yang ujiannya menimpa secara beruntun, atau bertubi-tubi. Ingat Rasulullah Muhamamd Saw pun, pernah mengalami ujian hidup secara beruntun, yakni kematian Abu Thalib r.a, pamannya, dan kemudian juga kematian istri tercintanya, Siti Khadijah r.a. Sehingga dalam sejarah, tahun itu disebut sebagai tahun kesedhan (’amul huzn).

Dalam perspektif lainnya, ada juga pengujian dalam jumlah yang besar, misalnya bencana alam yang menyebabkan hilang harta benda dan nyawa.  Ujian itu masuk dalam kategori pengujian yang dapat dilihat dari sisi kuantitasnya, ada pun dari sisi kualitasnya, dapat dibandingkan antara hilang harta dengan kehilangan sanak saudara. Perbedaan ujian itu, masuk dalam kategori pengujian secara kuantitas dan kaulitas.

Makna dan fungsi pengujian itu sendiri, menurut Qurthubi setidaknya ada tiga makna, yaitu (1) menguji untuk melihat respon dalam menghadapi ujian, antara yang sabar dan menyimpang, (2) dapat dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya, dan (3) untuk memberikan ketenangan kepada mereka yang menjalaninya (Qurthubi 2007:407-408).

Hal uniknya, dalam firman Allah Swt itu, menggunakan kata bisyai’in. Uniknya, al-Qur’an menggunakan konsep bi syain (sesuatu) dan min (dari). Meminjam penjelasan Wahbah az-Zuhaili menjelaskannya,bahwa penggunaan kata bi syai’in dan minبِشَيْءٍ مِّنَ  ) ini, dapat diartikan ”sedikit” (W. A.- Zuhaili 2013).  Terkait hal ini, maka implikasi pemikirannya adalah (1) pengujian ini hanya dilakukan terhadap sebagian dari sisi kehidupan manusia, (2) waktunya sementara atau sesaat dan bisa berubah dalam diwaktu kemudian, dan (3) ayat ini memberi motivasi hidup yang kuat,  serta memberi motivasi, supaya manusia tidak stress atau depresi atau frustasi dengan kehidupan. Penggunaan kata bi syai’in min, merupakan gaya bahasa yang istimewa dan dapat memberikan dorongan untuk manusia, supaya bisa berhati-hati, dengan penuh kesungguhan. Hati-hati terhadap potensi datangnya ujian, dan bersemangat karena ujian itu, sejatinya bisa diatasi oleh setiap manusia itu sendiri.

Lanjur pada bentuk-bentuk pengujiannya, al-Qur’an menyebut ada tiga jenis pengujian, yaitu takut (khouf), lapar (ju’i) dan pengurangan (naqshin). Ketakutan, kelaparan dan pengurangan itu, dalam versi al-Qur’an hanya sedikit (minsya’in). Hal ini, dapat kita sebut objektifnya. Namun, secara subjektifnya, yakni pola respon manusia terhadap pengujian itu, akan berbeda-beda, dan kemungkinan akan muncul opini atau persepsi berat. Berat ringannya ujian, bukan masalah objek, tetapi lebih karena subjektivitas manusia dalam merespon pengujian tersebut. Tetapi, setiap bentuk pengujian, secara objektif dapat melahirkan respon ketakutan, kelaparan atau kekurangan.

Peroalan kemudian, muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan ketakutan, kelaparan dan kekurangan itu ? Untuk konteks itulah, kita mendapat informasi dari para mufassir klasik.

Ketakutan (khouf), ada yang mengarah pada ketakutan pada musuh, di masa peperangan. Itu konteksnya. Dengan kata lain, kita dapat mengartikan ketakutan sebagai dugaan ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah yang akan datang. Sifatnya pengujiannya belum tiba, tetapi jiwanya sudah terganggu. Karena itu, dia merasa takut petir (kena petirnya belum terjadi), takut gagal (kegagalannya belum menimpa), takut ditinggalkan orang  tercinta (kejadiannya belum mewujud).

Kelaparan (ju’i) adalah  kondisi jiwa yang merasa butuh tambahan, terhadap sesuatu hal yang sudah dimiliki. Selama ini, kita kerap menggunakan kata lapar untuk konteks pangan, misalnya makan.  Dalam situasi itu, lapar adalah kebutuhan untuk menambah nutrisi sehingga merasa terpuaskan. Dengan kata lain, kita pun dapat menerapkan konsep lapar dalam konteks yang luas lagi, misalnya lapar makanan, lapar ilmu, lapar kekuasaan, lapar-perhatian dan lain sebagainya.

Pengurangan (naqshin) adalah gejala pengurangan terhadap sesuatu hal yang sudah dimiliki. Misalnya, sebelumnya memiliki  uang IDR 10.000, kemudian berkurang menjadi IDR 500. Gejala pengurangan dan kekurangan ini, akan menggagu psikologi manusia.

Dengan pemaknaan ini, kita dapat menjelaskan perbedaan makna ketiga konsep tersebut. Khouf, adalah kekhawatiran terhadap sesuatu yang belum terjadi, ju’i  adalah kondisi jiwa yang gelisah karena diorong hasrat untuk menambah, dan naqshin adalah kegelisahan jiwa karena berkurangnya sesuatu yang sudah dimiliki.

Pada ayat itu, ada gaya bahasa ithnab (penjelasan tambahan) terhadap informasi yang sudah disampaikan sebelumnya, khususnya dalam konsep naqhsin. Strukturnya yaitu menggunakan kata pengurangan dari (min) harta, jiwa dan buah-buahan (amwal, nafs, dan tsamara).

 Masih dilanjut…..

 

 

Categories: ,


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar